7 Mei 2021

Tenaga Pengajar SD Medini 1

Satiyono, S.Pd.
Suhartinah, A.Ma.
Anas Bachtiar, S.Pd.

Guru Masuk Surga

Di penghujung masa jabatannya, mendikbud Muhadjir Effendy justru mendulang kontroversi lewat perkataannya yang mungkin bagi para guru dianggap telah menyakiti hati. Dalam sebuah acara peringatan Hari Guru Internasional di Gedung Kemendikbud, Muhadjir memberi pidato terkait serba-serbi profesi guru. Acara tersebut bertajuk “Guru Milenial, Sebuah Profesi Masa Depan”. Namun ada satu ujaran yang mungkin dianggap kurang menghargai profesi guru. Seperti kita ketahui selama ini, banyak sekali guru di negeri ini yang kehidupannya masih jauh dari kata ‘layak’. Honor yang mereka terima seolah tidak sebanding dengan perjuangan yang telah dilakukan kepada anak-anak didiknya. Mengetahui kondisi itu, Muhadjir justru berkata: Saya agak yakin, bahwa yang pertama masuk surga itu adalah guru. Kalau sekarang gajinya sedikit, apalagi guru honorer, nikmati saja, nanti masuk surga, “ ujarnya seperti yang dikutip Detik. Pak, tolong, bukannya kami tidak ingin masuk surga, tapi apakah sudah tidak ada cara lain agar profesi kami ini bisa lebih dihargai? Jika ada orang yang menganggap jadi guru itu mudah, mereka sungguh salah besar. Mungkin benar kalau ada yang bilang semua profesi punya tantangan masing-masing. Tapi kalau boleh sedikit hitung-hitungan guru mengemban tanggung jawab yang sangat besar. Selain bertanggung jawab terhadap kemampuan akademis anak didik, mereka juga turut andil membentuk karakter, dan moral para siswanya. Kalau ada tokoh atau sosok penting yang berhasil membangun negeri, semua itu tidak lepas dari jasa guru-guru yang telah mendidiknya di sekolah dulu. Namun bedanya dengan segudang profesi bergengsi di luar sana, gaji guru kerap bikin hati meringis. Apalagi mereka yang statusnya masih honorer.

Junus Jahja

Lauw Tjhwan Thio Junus Jahja, Tionghoa-Nasionalis Petinggi MUI Oleh: Iswara N Raditya - 22 April 2017 Haji Junus Jahja alias Lauw Tjhwan Thio adalah mualaf peranakan Cina yang sangat nasionalis. Ia pernah menjadi petinggi MUI dan anggota Dewan Pertimbangan Agung. tirto.id ”Saya memang radikal. Saya melawan arus. Tetapi bagi saya, kalau mau hidup di sini, cari makan di sini, mau mati di sini, ya harus mencintai Indonesia,” tegas Junus Jahja suatu kali. Nama aslinya Lauw Tjhwan Thio. Ya, ia memang keturunan Tionghoa. Tapi, "Enggak perlu lagi kita melihat ke Tiongkok,” tandasnya seperti dikutip dari Kompas (20 Agustus 2009). Lauw Tjhwan Thio memeluk Islam pada 1979 dengan bimbingan Buya Hamka (Junus Jahja, Catatan Seorang WNI: Kenangan, Renungan & Harapan, 1989: 222). Ulama besar itu kemudian memberinya nama anyar, yakni Junus Jahja atau Yunus Yahya dalam ejaan baru. Atas peran Hamka pula, Lauw Tjhwan Thio alias Junus Jahja masuk kepengurusan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kemudian dipercaya sebagai Sekretaris Dewan Pengurus MUI. Serius Jadi Orang Indonesia Lauw Tjhwan Thio atau Junus Jahja dilahirkan di Jakarta pada 22 April 1927. Ia adalah putra dari pasangan Lauw Lok Soey dan Oey Ay Nio yang sukses menjadi pengusaha roti saat itu. Ia merampungkan pendidikan dasar hingga sekolah menengah atas di Jakarta, dan pada 1949 melanjutkan studi ke Belanda, tepatnya di Univesiteit van Rotterdam. Semasa kuliah di Rotterdam, Junus Jahja tanpa canggung turut aktif di organisasi Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda. Dan tampaknya, Junus memang ingin menegaskan bahwa ia adalah orang Indonesia dengan masuk organisasi tersebut. Bahkan, seperti dituliskan oleh Riyanto D. Wahono dalam buku Tujuh Puluh Tahun Junus Jahja (1997:140), Junus Jahja menjadi salah satu penggerak dibubarkannya Chung Hwa Hui di Belanda untuk kemudian dilebur ke dalam PPI. Chung Hwa Hui adalah perhimpunan pelajar/mahasiswa keturunan Tionghoa yang dibentuk sejak 1927. Junus lulus kuliah dari Univesiteit van Rotterdam tahun 1959 dan kembali ke Indonesia sewarsa berikutnya serta sempat . menjalani karier di bidang perbankan, sesuai gelar sarjana ekonomi yang dikantonginya. Di tanah air, ia juga menulis di majalah Star Weekly tentang gerakan asimilasi (Sam Setyautama, Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia, 2008:159). Selanjutnya, bersama tokoh-tokoh peranakan Cina di Indonesia lainnya, termasuk P.K. Ojong, Ong Hok Ham, Kwik Hway Gwan (ayah Kwik Kian Gie), juga Harry Tjan Silalahi, Junus Jahja memprakarsai Piagam Asimilasi dalam suatu seminar yang dihelat di Bandungan, Jawa Tengah. Asimilasi dalam pandangan Junus dan kawan-kawan dimaknai sebagai proses masuk dan diterimanya keturunan Tionghoa ke dalam bangsa Indonesia sehingga golongan semula yang khas tidak ada lagi (Beni Bevly, Aku Orang Cina?, 2008:158). Artinya, asimilasi adalah syarat mutlak untuk mencapai suatu bangsa dengan masyarakat yang adil dan makmur serta berperan di dunia internasional sesuai panggilan zaman. “Kita semua sejak (Sumpah Pemuda) 1928 telah menjadi satu nusa, satu bangsa, satu bahasa, tanpa mengkotak-kotakkan bangsa Indonesia berdasarkan garis kesukuan, kedaerahan, maupun ras!” tandas Junus Jahja. Tionghoa Penebar Islam Dalam artikelnya di Star Weekly pada 1960 dengan tajuk “Menuju ke Asimilasi yang Wajar”, Junus Jahja bersama 9 orang intelektual keturunan Tionghoa lainnya menegaskan bahwa satu-satunya jalan agar orang peranakan Cina menjadi loyal kepada negara adalah dengan meninggalkan kedudukannya sebagai minoritas dan melakukan asimilasi atau peleburan seratus persen menjadi orang Indonesia “asli”. Secara khusus, Junus Jahja dengan terang-terangan menyatakan bahwa untuk mengatasi “permasalahan Cina”, orang Tionghoa harus memeluk agama mayoritas di Indonesia, yaitu Islam (Beni Bevly, 2008:157). Dan itulah kemudian yang dilakukannya pada 1979, menjadi mualaf di bawah bimbingan Buya Hamka, Ketua MUI yang pertama. Dr. Charles Coppel dalam Indonesian Chinese in Crisis (1973) sepakat dengan pemikiran Junus Jahja. Masuk Islam, tulisnya, adalah terapi baru bagi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Coppel agaknya teringat situasi di Thailand dan Filipina di mana orang-orang peranakan Cina di sana memeluk agama mayoritas penduduk setempat (Junus Jahja, Peranakan Idealis: Dari Lie Eng Hok sampai Teguh Karya, 2002: 269). Tahun 1980, Junus Jahja berkesempatan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah. Sepulangnya ke Indonesia, ia diterima sebagai anggota MUI hingga kemudian menjabat sekretaris dewan pengurus pusat (Junus Jahja, Islam di Mata WNI, 1993:167). Junus Jahja nantinya juga menjadi penasihat MUI, anggota Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), hingga tercatat sebagai anggota Partai Amanat Nasional (PAN) bentukan dedengkot Muhammadiyah, Amien Rais. Junus kala itu memang dekat dengan orang-orang Muhammadiyah. Sejak masuk Islam dan menjadi pengurus MUI, Junus gencar melancarkan syiar Islam kepada orang-orang keturunan Tionghoa sepertinya. Sebagai wadah untuk aksi dakwah tersebut, ia mendirikan Yayasan Ukhuwah Islamiyah dan turut menggagas dibentuknya Yayasan Abdul Karim Oey Tjeng Hien, serta aktif di Perhimpunan Islam-Tionghoa Indonesia. Cina-Muslim-Nasionalis Junus Jahja barangkali menjadi salah satu dari sedikit mualaf keturunan Tionghoa di Indonesia yang amat gencar menebarkan dakwah Islam sekaligus sosok yang sangat nasionalis. Ia bahkan terkesan frontal dalam menyikapi sekaligus mengkritik sikap orang-orang keturunan Tionghoa yang dianggapnya terkadang mengesankan diri sebagai kelompok eksklusif. ”Mereka, semua suku dan keturunan apa pun yang hidup di Indonesia, harus mau berbaur dan berjuang bersama untuk maju,” tukas Junus Jahja (Kompas, 20 Agustus 2009). Saking seriusnya meresapi dan memaknai sebagai bagian dari bangsa Indonesia, Junus bahkan rela menghilangkan dialek khas warga keturunan Tionghoa dalam percakapan sehari-hari. ”Saya belajar bahasa Indonesia yang baik dan benar, bukan bahasa Indonesia yang menyebut lu orang, you orang, dan kita orang,” tegasnya. Ia kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1998-2003 pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Di era yang sama, Junus Jahja juga dianugerahi penghargaan Bintang Mahaputera Utama. Bahkan, di usia senjanya ketika Indonesia diterpa krisis dimensional beberapa tahun awal setelah reformasi, Junus masih menyimpan asa besar bagi bangsa ini. ”Harapan saya, Indonesia harus maju. Tidak bisa tidak, negara yang begini kaya harus maju!” tandasnya. Junus Jahja wafat di Jakarta tanggal 7 Desember 2011 pada umur 84 tahun. Salah seorang rekan terdekatnya, Harry Tjan Silalahi, selalu terkenang atas kesungguhan Junus untuk benar-benar menjadi orang Indonesia sepenuh hati. ”Dengan jiwa dan raga, ia memilih menjadi Indonesia dan konsekuen menjalankan pilihannya,” ucap Harry.

DATA SISWA KELAS VI (ENAM) TAHUN PELAJARAN 2020/2021

DATA SISWA KELAS VI (ENAM) TAHUN PELAJARAN 2020/2021 SD NEGERI MEDINI 1 Jln. KH Abdul Karim No. 2 C Medini Email: sd1medini@gmail.com Website: https: //sd1medini.blogspot.com NO NISN NAMA SISWA JENIS KELAMIN TEMPAT LAHIR TANGGAL LAHIR NAMA ORANG TUA 1 0091500656 Ayu Fitria Irdhiani Amanda P Demak 4 Agustus 2009 Yopi Ananda 2 0092282221 Dimas Prasetyo L Demak 22 April 2009 Widi Suwignyo 3 0099959511 Dwi Mulyaningrum P Demak 13 Juni 2009 Choerudin 4 0098099474 Fatih Muhammad L Demak 31 Januari 2009 Zainuri 5 0094438330 Febi Zaskya Widya Ulfika P Demak 24 Februari 2009 Wainal Kamda Safi'i 6 0093122298 Felisa Najwa Aulia P Demak 18 Juni 2009 Purwanto 7 0094651133 Muhammad Agus Muthollib L Demak 22 Maret 2009 Muchosis 8 0086725993 Muhammad Dani Siril Wafa L Demak 7 Oktober 2008 Masidi 9 0091913742 Muhammad Fa'iq Andriyanto L Demak 3 September 2009 Sudiran 10 0094878533 Muhammad Maksum Ibrahim L Demak 17 Mei 2009 Sugiharto 11 0092126589 Muhammad Mudrik L Jakarta 3 Februari 2009 Sutomo 12 0097640143 Naila Rosydatul Azka P Demak 14 Agustus 2009 Kumaedi 13 0098838456 Najwa Rahma Azzahra P Demak 21 November 2009 Purwadi 14 0093522864 Nihazatu Zahra P Demak 25 Januari 2009 Diran 15 0094552352 Rohmatun P Demak 11 Oktober 2009 Lasono 16 0097917688 Sahila Nafik Arummaisa P Demak 11 April 2009 Kusmanto 17 0093961801 Salsabila Bidayatul Ula P Demak 1 Mei 2009 Nur Salim 18 0096615086 Zainab Qorri Aina P Magetan 3 Mei 2009 Nur Abdul Kholiq 19 0089050598 Zunan Hilmi L Demak 19 Desember 2008 Zaenuri Demak, 18 Maret 2021 Kepala Sekolah SATIYONO, S.Pd. NIP. 19670311 198806 1 001

5 Sep 2019

SUPERVISI NEGATIF

 PRINSIP-PRINSIP SUPERVISI NEGATIF
1)    Pengawas TK/SD  atau Pengawas Pendais sebagai supervisor tidak boleh bersifat otoriter
2)    Pengawas tidak boleh mencari kesalahan guru-guru
3)    Seorang pengawas bukan inspektur yang ditugaskan memeriksa, apakah peraturan dan instruksi yang telah diberikan dilaksanakan atau tidak
4)    Seorang pengawas tidak boleh menganggap dirinya lebih tinggi daripada guru
5)    Seorang pengawas tidak boleh terlalu banyak memperhatikan hal-hal kecil dalam cara mengajar guru
6)    Seorang pengawas tidak boleh lekas kecewa jika mengalami kegagalan

8 Des 2018

kopi

Orang Amerika menyebut kopi dengan sebutan java. Kenapa kopi disebut java? Karena kopi tanaman asli tanah Jawa. Seorang prajurit Amerika menemukan tanaman kopi ketika bergerilya di hutan, tetapi tidak tahu nama tanaman tersebut. Secara reflek dikunyahlah biji kopi tersebut. Rasa kantuknya hilang. Kemudian mengambil sebagian, sampai di kamp ditumbuklah biji tersebut. Diseduh pakai gula. Jadilah minuman hangat yang menyegarkan. Ini kisah awal diketemukannya kopi. Anda boleh percaya boleh tidak. Sejak ditemukannya kopi di tanah Jawa, orang-orang Eropa berdatangan ke pulau Jawa, tidak saja mencari kopi tetapi juga rempah-rempah yang sangat dibutuhkan terutama pada musim dingin. Kopi yang menahan rasa kantuk itu karena mengandung kafein. Ketika diminum jantung memompa darah agak kencang. Itu sebabnya bagi penderita bertensi tinggi dan jantung tidak disarankan minum kopi, meskipun kopi nikmat. Ada rasa pahit tetapi terdapat rasa manis dan nikmat di sana. Apalagi jika disuguhkan sama istri tercinta, kopi terlalu istimewa. Yang tidak biasa minum kopi bisa mual di lambung sampai muntah-muntah. Falsafah kopi, semakin diminum rasa pahit hilang berganti rasa manis, seperti dalam kehidupan ketika rasa pahitnya hati hilang berganti dengan manisnya hidup. Penikmat kopi segera akan tahu nikmatnya kopi yang dibuat pabrik dengan kopi yang dibuat rumahan. Ada dua jenis kopi yang sama-sama nikmat, tergantung selera, Arabica dan Robusta. Kopi yang dicampur dengan susu berlabel mix, tetapi rasa asli kopinya akan segera hilang, berbeda yang berwarna hitam, maka rasa asli kopinya semakin kentara. Produk kopi nikmat di Indonesia banyak sekali, tetapi yang paling terkenal adalah dari Lampung, Toraja, Aceh, dan tentu saja pulau Jawa sendiri. Mari minum kopi, hilangkan sejenak kesusahan hidup dari memikirkan hutang. Ini salah satu motivasi minum kopi. Anda boleh tidak setuju dengan saya.

10 Sep 2015

e-PUPNS

Badan Kepegawaian Negara (BKN) membangun Sistem Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil Elektronik (e-PUPNS) tahun 2015. Pelaksanaan e-PUPNS ini dilaksanakan secara online sebagai tindak lanjut dari amanat Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) dan untuk memperoleh data seluruh PNS yang akurat, terpercaya dan terintegrasi.

Sistem e-PUPNS tahun 2015 dibangun dengan teknologi berbasis web, saat ini mengikuti pendataan, para PNS dapat mengakses dengan menggunakan web browser melalui alamat http://pupns.bkn.go.id. Mengingat pentingnya tujuan e-PUPNS untuk memperbaiki Data Base Nasional PNS, seluruh PNS diwajibkan untuk melaksanakan e-PUPNS.


Sumber: http://www.sekolahdasar.net/2015/08/download-formulir-pendataan-e-pupns-tahun-2015.html#ixzz3lJyrL5ly


9 Sep 2015

UKG Tahun 2015

Target tahun ini rata-rata nilai UKG 5,5 dan tahun 2019 rata-rata kompetensi guru 8,0. Pemerintah berencana melaksanakan Uji Kompetensi Guru (UKG) pada akhir November mendatang yang diikuti oleh seluruh guru. Dalam UKG tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan standar nilai rata-rata UKG adalah 5,5. Ujian secara online ini dilakukan sebagai pemetaan terhadap

21 Mar 2015

Menyelamatkan Diri dari Godaan Dunia

Sa'id ibn 'Amir adalah gubernur Hamash yang diangkat khalifah Umar. Ditanyakan kepada rakyatnya bagaimana kepemimpinannya selama menjabat gubernur. "Bagaimana pendapat kalian tentang gubernur kalian ini?" tanya khalifah. "Kami tidak membencinya kecuali karena 4 hal, " jawab mereka. "Apa itu?" tanya khalifah. "Dia tidak keluar menemui kami hingga matahari meninggi. Sehari dalam seminggu, kami tidak bisa menjumpainya karena dia tidak melayani kami. Dia tidak melayani kami di malam harin sekali pun kami mengetuk pintunya sehabis isya'. Dan dia kadang pingsan di persidangan ketika terjadi perdebatan." Kemudian jawab Sa'id, "Maafkan aku, ya Amirulmukminin! Aku tidak keluar rumah hingga hari mulai terik karena aku tidak memiliki pembantu, istriku sakit dan aku harus mempersiapkan makanan untuk keluargaku. Selesai makan, aku mengambil wudhu, salat dua rakaat baru aku menemui mereka. Satu hari dalam seminggu aku tidak bisa menemui mereka karena juga tidak mempunyai pemabantu, aku harus mencuci pakaian istriku. Tidak keluar di malam hari karena aku sediakan seluruh malamku untuk Tuhan, yaitu salat, zikir, dan membaca Al-Qur'an. Bukankah waktu siang sudah aku sediakan sepenuhnya untuk mereka?" "Lalu mengapa engkau pingsan di persidangan?" tanya khalifah selanjutnya. "Karena aku pernah menyaksikan Khubayb ibn 'Adi dihukum pancung. Aku dengar dia berkata, 'Ya Allah hitunglah mereka, binasakan mereka dalam keadaan bercerai berai, dan jangan sisakan seorang pun dari mereka.' Setiap kali mengingat itu, dan aku tidak bisa menolong Khubayb, aku langsung pingsan!" jawab Sa'id. Mendengar penjelasan Sa'id, khalifah Umar bertambah rasa hormatnya kepada sang gubernur. Maksud kisah ini adalah bahwa semua manusia dituntut menyelamatkan diri dari godaan dunia. (al-Qarni, Drama Kematian, h.168)

6 Des 2014

Fitnah Terbesar

Firman Allah, “Dijadikan indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik.” (3:14) Allah memberitakan tentang semua yang djadikan perhiasan bagi manusia di dunia ini, dengan berbagai kesenangan, antara lain wanita dan anak-anak. Wanita disebut pertama kali karena fitnah yang ditimbulkan oleh mereka sangat kuat. (Al-Qur’an Cordoba, h 100) Sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih, bahwa Rasulullah bersabda, “Tiada satu fitnah pun yang lebih berbahaya bagi kaum laki-laki selain dari wanita.” Berbeda halnya dengan orang yang bermaksud terhadap wanita untuk menjaga kehormatan dan memperbanyak keturunan. Hal ini merupakan sesuatu yang dianjurkan dan disunatkan, sebagaimana terdapat di dalam hadits-hadits yang mendorong untuk nikah serta memperbanyaknya (nikah). “Sesungguhnya sebaik-baik umat ini adalah yang paling banyak mempunyai istri (dalam batas yang diperbolehkan), sabda Rasulullah, “Dunia adalah kesenangan, sebaik-baik kesenangan adalah istri yang saleh. Jika suami memandangnya, ia membuat gembira suaminya; jika suami menyuruhnya ia menaatinya; jika suaminya tidak ada (di tempat) ia memelihara kehormatan dan hartanya.”

5 Des 2014

Haji Rasulullah

Share: Kiai Sahal Mahfudh
Berziarah ke tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan atau disucikan karena mempunyai nilai-nilai bersejarah sebagai sebuah ritual dijumpai dalam banyak agama dan bangsa. (al-Islam Aqidah wa Syari’ah, 120).
          Haji, yaitu mengunjungi Ka’bah untuk beribadah dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan sebagainya sudah disyariatkan sebelum diutusnya Rasulullah Salallahu Alaihi wa Sallam. Menurut penuturan al-Quran, Ka’bah adalah baitullah pertama di dunia, dibangun oleh Nabi Ibrahim Alaihi Salam dibantu putranya Nabi Ismail Alaihi Salam. Hal ini sebagaimana firman Allah:

وإذيرفع إبراهم القواعدمن البيت وإسماعل ربناتقبل مناإنك أنت السمع العليم (البقرة: 127)

          ”Dan (ingatlah) aketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Q.S. al-Baqarah: 127)
          Ibn Ishaq, sejarawan besar muslim, menyatakan setiap nabi yang diutus Allah setelah Ibrahim Alaihi Salam pernah menjalankan haji. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah: IV, 349)
          Ketika Rasulullah memulai misi dakwahnya, masyarakat Arab pra Islam selalu berziarah ke Ka’bah untuk beribadah, meskipun dengan cara yang telah mengalami banyak penyimpangan dari ajaran yang benar.
          Kapan haji diwajibkan atas umat Islam terdapat beragam pendapat. Ada yang mengatakan sebelum hijrah dan ada pula yang menyatakan sebaliknya. Yang berpendapat setelah hijrah sebagian menunjuk tahun pertama, kedua sampai tahun ke sepuluh hijriah. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah: IV, 350)
          Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili haji diwajibkan pada akhir tahun 9 H dengan merujuk pada waktu turunnya ayat berikut ini:

ولله على النا س حج اليت من استطاع إليه سبيلاومن كفرفإن الله غني عن العلمين (ال عمران: 97)

          ”Dan mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sangup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Q.S. Ali Imran: 97)
          Pendapat ini juga dianut mayoritas ulama. (al-Fiqh al-Islami: III, 2065)
          Seumur hidupnya rasulullah Salallahu Alaihi wa Sallam melakukan haji hanya satu kali pada tahun 10 H dengan diikuti kurang lebih 100.000 sahabat. Haji Rasulullah terkenal dengan sebutan haji wada’ (haji perpisahan). Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah turun ayat al-Quran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna dan diridhai sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam al-Quran:

اليوم أكملت لكم دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة : 3)

          ”Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam menjadi agma bagimu.” (Q.S. al-Maidah: 3)
    Kesempurnaan Islam menandai selesainya misi yang diemban Rasulullah sebagai seorang rasul. Dan memang menurut  catatan sejarah, kira-kira tiga bulan setelah haji wada’ Rasulullah Salallahu Alaihi wa Sallam wafat. (Sirah Rasulullah, 311)
          Dalam haji wada’ itulah rasulullah mengajarkan kepada para sahabat yang menyertainya tentang tata cara beribadah haji, dengan melihat dan mempraktikkan secara langsung. Kisah perjalanan haji Rasulullah ini banyak diterangkan dalam kitab-kitab hadis secara mendetail, dan dijadikan rujukan utama dalam membahas masalah haji oleh para ulama fiqih.
          Setiap orang tentu ingin mendapat haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang bebas dari perbuatan maksiat  (alladzi la yukhalithuh itsm). Beberapa perbuatan yang dilarang saat menjalankan haji diterangkan al-Quran diantaranya:

الحج أشهرمعلوماتفمن فرض فيهن الحج فلارفث ولافسوق ولاجدال في الحج (البقرة: 197)

          ”(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji.” (Q.S al-Baqarah: 197)
          Rafats adalah menggauli istri. Sedangkan tindakan fasik meliputi segala tindakan melampaui batas agama. (Syarah Muslim: V, 119)
          Ini artinya untuk mendapat haji mabrur yang dijanjikan berpahala surga, setiap jamaah haji harus menjaga seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan maksiat dalam segala bentuknya.setiap jamaah diharapkan senantiasa ikhlas, tawakkal dan tawadhu’. Haji mabrur sudah barang tentu harus sesuai dengan tata cara yang diajarkan Rasulullah. Pemahaman tentang masalah haji dalam rangka meraih haji mabrur sangat penting sekali.
          Sebagian ulama menyatakan haji mabrur adalah haji maqbul (diterima Allah). Diterimanya suatu ibadah pada dasarnya menjadi urusan Allah. Tetapi kita bisa memperkirakannya dari dampak-dampaknya. Haji yang diterima Allah bercirikan pelakunya menjadi lebih baik setelah kembali dari tanah suci. Lebih tekun beribadah dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama sebelum berangkat. Semoga kita semua mendapat haji mabrur.***

(Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci, Surabaya)

       

Gaza

Gaza
Siapakah bangsa yang pertama kali menghuni wilayah Palestina? Mereka adalah bangsa Kan’an. Mereka datang dari Jazirah Arab sejak 4500 tahun yang lalu. Sehingga pada awalnya Palestina disebut Negeri Kan’an. Bangsa Palestina yang ada sekarang ini adalah anak keturunan bangsa Kan’an yang sebahagiannya berasal dari keturunan bangsa Timur Laut Tengah “PLST” atau bangsa Palestina serta kabilah-kabilah Arab yang berasimilasi dengan bangsa Kan’an. Meski dari waktu ke waktu Palestina pernah diperintah oleh berbagai penguasa dari bangsa yang berbeda-beda, akan tetapi penduduk asli Palestina tetap berdomisili dan tidak pernah meninggalkan bumi Palestina. Atas kesadaran sendiri, mayoritas penduduk Palestina akhirnya memeluk Islam. Dan seiring dengan datangnya Islam ke Palestina mereka pun mulai bersentuhan dan berkomunikasi dengan bahasa Arab. Maka, jadilah Islam sebagai identitas negeri Palestina terlama sepanjang sejarah. Dimulai sejak sejak ekspansi Islam tahun 15 H/ 636 M dimasa kekhalifahan Umar bin Khattab hingga saat ini. Meski sejak tahun 1948 sebagian besar penduduknya diusir oleh penjajah Zionis. Klaim Sejarah Yang Dibuat-buat Klaim-klaim hak sejarah yahudi di Palestina bertolak belakang dengan hak bangsa Arab-Muslim Palestina. Merekalah anak keturunan bangsa Palestina yang telah memakmurkan negeri ini sejak 1500 tahun sebelum Bani Israel membangun negara mereka (Kerajaan Daud) dan ketika mereka berkuasa bahkan ketika kekuasaan Yahudi terputus hingga saat ini, bangsa Palestina tetap mendiami tanah leluhur mereka. Bani Israil hanya memerintah sebagian wilayah saja dari Palestina (dan bukan seluruhnya) selama kurang lebih empat abad lamanya ( terutama sejak 1000-586 SM. Setelah wafatnya Sulaiman as. Tahun 923 SM, kerajaan Bani Israel terpecah menjadi dua bagian: Kerajaan Israel di Utara yang jatuh tahun 722 SM ke tangan Bangsa Asyuria dan kerajaan Yehuda yang jatuh ke tangan Babilonia tahun 586 SM). Setelah itu hilanglah kekuasaan mereka, kemudian secara silih berganti Palestina diperintah oleh bangsa Asyuria, Persia, Firaun, Yunani, Romawi. Dan selama masa-masa itu bangsa Palestina tetap teguh untuk tinggal di negeri mereka, Palestina. (sumber : beritapalestina.com)

Seperti orang Islam jika mati

Seperti orang Islam jika mati
Maka orang Kristen mati ditanyai malaikat Munkar dan Nakir di kubur dengan pertanyaan: Siapa Tuhanmu? Apakah agamamu? Siapa Nabimu? Mana kiblatmu? Maka orang Kristen akan memberikan jawaban tidak sama dengan muslim. Jawabannya adalah: Tuhanku adalah Yesus. Agamaku Protestan. Nabiku Paulus. Kitab suciku Perjanjian Baru dan kiblatku kiblat papat (utara, selatan, barat dan timur). Jawaban serupa akan diberikan bagi pemeluk Katholik dengan sedikit perbedaan kitab sucinya adalah Perjanjian Lama. Malaikat Munkar dan Nakir yang ketika mendatangi muslim yang taat berwajah sebagai malaikat Kiraman dan Katibin, kali ini benar-benar Munkar dan Nakir yang berwaajah garang. Palu sebesar glugu klapa (batang kelapa) diarahkan ke kepala mayit. Hancur luluh itu kepala. “Masuklah ke dalam golongan orang-orang yang dimurkai Allah”, kata malaikat selanjutnya kepada pemeluk Kristen itu. Mayit yang dosanya tidak mendapatkan ampunan itu berada di alam barzah hingga saatnya dibangkitkan ketika hari kiamat datang.

Agama Syi'ah

Agama Syi'ah
Syi'ah Kelompok Sesat.Ulama Syi’ah Bercerita Tentang Agama Mereka (Bukti Kesesatan Agama Syi’ah dari Sumber Rujukan Mereka) Termasuk kewajiban yang paling wajib adalah menjaga agama dan keyakinan kaum muslimin terhadap penyimpangan dan kerusakan, serta menerangkan jalan kerusakan agar kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam kerusakan tersebut. Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma berkata, كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan (karena) khawatir bila kejelekan itu akan menimpaku ….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim] Di antara ancaman yang sangat besar terhadap aqidah kaum muslimin adalah agama kaum Syi’ah Rafidhah, suatu agama yang merusak dan meruntuhkan nilai-nilai keyakinan umat Islam. Ironisnya, agama Syi’ah ini didukung oleh beberapa negara dan dipersiapkan guna menyebar racun mereka di seluruh negeri kaum muslimin. Bila merasa kuat pada suatu negeri, Kaum Syi’ah akan berbuat kezhaliman dan kesewenang-wenangan, seperti ulah mereka di Iran, Suriah, Bahrain, dan selainnya. Bila merasa lemah, mereka akan tampil dengan “pakaian” pendekatan dan persahabatan, atau sengaja memancing kemarahan kaum muslimin dengan mencela agama kaum muslimin sehingga sebagian kaum muslimin lepas kontrol. Bila kejadian yang mereka inginkan telah terjadi, mereka pun berdiri di belakang media massa agar ditampilkan sebagai orang-orang yang “dizhalimi” supaya mendapat belas kasih dan kesempatan untuk bercerita tentang keyakinan mereka. Berikut beberapa pembahasan ringkas tentang kesesatan dan penyimpangan agama Syi’ah. Kami menerangkan kesesatan agama mereka dari “mulut” mereka sendiri yang menumpahkan keyakinan mereka dalam buku-buku mereka sendiri. Definisi Syi’ah Syaikh kelompok Syi’ah, Muhammad bin Muhammd bin An-Nu’man, yang bergelarAl-Mufîd, berkata, “Syi’ah adalah para pengikut amirul mukminin Ali shalawatullâhi ‘alaihi di atas jalan loyalitas, meyakini keimaman (Ali) setelah Rasul shalawatullâhi ‘alaihi wa âlihi tanpa terputus, menafikan keimaman siapa saja yang telah mendahului (Ali) dalam khilafah, serta menjadikan (Ali) sebagai yang diikuti dalam keyakinan, bukan mengikut kepada salah seorang di antara mereka di atas jalan kesetiaan.” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 38] Syaikh mereka yang lain, Sa’d bin ‘Abdillah Al-Qummy, mendefinisikan, “Syi’ah adalah golongan Ali bin Abi Thalib yang dinamakan Syi’ah Ali pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan masa setelahnya. Mereka dikenal dengan loyalitas kepada Ali dan menyatakan keimaman (Ali).” [Al-Maqâlât Wal Firâqhal. 15] Dalam agama Syi’ah, banyak kelompok dan aliran. Hanya, pada masa ini, penggunaan kata syi’ah tertuju kepada penganut terbanyak agama Syi’ah: Syi’ah Itsnâ Asyariyyah. Demikian keterangan salah seorang rujukan mereka, Husain An-Nury Ath-Thabarsy, dalam kitabnya, Mustadrak Al-Wasâ`il 3/311. Siapakah 12 Imam Kaum Syi’ah? Mereka disebut Syi’ah Itsnâ Asyariyyah karena meyakini keimaman 12 imam Ahlul Bait. 12 imam tersebut adalah [1] Abul Hasan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu(Lahir 23 tahun sebelum hijrah dan mati syahid pada 40 H), digelari Al-Murtadhâ; dan dua putra beliau, [2] Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (2 H-50 H), digelari Al-Mujtabâ/Az-Zaky; [3] Abu Abdillah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (3 H-61 H), digelar Asy-Syahid. Delapan Imam lain adalah dari keturunan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu secara berurut. Kunyah, nama, dan gelar mereka terhitung dari bawah, yaitu [11] Abu Muhammad Al-Hasan Al-‘Askar (232 H-260 H) bin [10] Abul Hasan Ali Al-Hâdy (212 H-254 H) bin [9] Abu Ja’far Muhammad Al-Jawwâd (195 H-220 H) bin [8] Abul Hasan Ali Ar-Ridhâ (148 H-203 H) bin [7] Abu Ibrahim Musa Al-Kâzhim (128 H-183 H) bin [6] Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq (83 H-148 H) bin [5] Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir (57 H-114 H) bin [4] Abu Muhammad Ali As-Sajjâd/Zainul ‘Âbidîn (38 H-95 H) bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib -semoga Allah meridhai dan merahmati mereka seluruhnya-. Adapun imam ke-12, mereka sebut berkunyah Abul Qâsim bernama Muhammad serta bergelar Al-Mahdi, Al-Qâ`im, Al-Hujjah, dan Al-Muntazhar. Akan datang penjelasan tentang Imam Mahdi kaum Syi’ah. Asal Muasal Agama Syi’ah Pendiri agama Syi’ah adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang pura-pura memeluk Islam. Dialah yang memunculkan aqidah keimaman Ali radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan pokok keyakinan kaum Syi’ah. Hal ini diakui oleh orang-orang Syi’ah dalam belasan buku rujukan mereka. [Bacalah kitab Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayâl karya Dr. Su’dâ Al-Hâsyimy] Seorang tokoh mereka, Al-Hasan An-Nûbakhty, menjelaskan, “As-Saba`iyyah adalah mereka yang berkata tentang keimaman Ali ‘alaihis salam, sedang keimaman adalah kewajiban dari Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba`. (Abdullah bin Saba`) tergolong orang yang menampakkan celaan terhadap Abu Bakr, Umar, Utsman, dan para shahabat, serta berlepas diri dari (para shahabat) tersebut …. Sejumlah ulama menghikayatkan bahwa, dahulu, Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi, lalu memeluk Islam dan berloyalitas kepada Ali ‘alaihis salam.” [Firâq Asy-Syî’ah hal. 32] Pokok-Pokok Kesesatan Agama Syi’ah Berbicara tentang kesesatan agama Syi’ah adalah suatu hal yang sangat panjang. Berikut beberapa simpulan ringkas tentang agama Syi’ah dari buku-buku mereka sendiri. 1. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Keimaman Para Imam Ahlul Bait Keyakinan kaum Syi’ah tentang keimaman 12 imam Ahlul Bait mengandung kekafiran yang sangat nyata. Di antara keyakinan tersebut adalah bahwa keimaman Ahlul Bait lebih tinggi daripada derajat kenabian. Salah seorang tokoh mereka, Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, berkata, “Kami meyakini bahwa keimaman adalah seperti kenabian, yang tidaklah terjadi, kecuali berdasarkan nash dari Allah Ta’âlâ melalui lisan Rasul-Nya atau melalui lisan Imam yang telah ditetapkan secara nash apabila dia ingin menetapkan imam setelahnya. Hukum keimaman dalam hal tersebut adalah hukum kenabian tanpa perbedaan.” [‘Aqâ`id Al-Imâmiyah hal. 103] Imam Kaum Syi’ah, Zainuddin Al-Bayâdhy, berkata, “Kebanyakan guru kami lebih mengutamakan (Ali) di atas Ulul ‘Azmi karena keumuman kepemimpinan (Ali), dan seluruh penduduk dunia mengambil manfaat pada kekhalifahan (Ali).” [Ash-Shirâthul Mustaqîm ‘Alâ Mustahiqqî At-Taqdîm 1/210] Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Keimaman umum adalah lebih tinggi daripada derajat kenabian dan kerasulan.” [Zahrur Rabî’ hal. 12] Bahkan, kaum Syi’ah menganggap bahwa keutamaan para nabi bersumber dari kecintaan para nabi kepada para imam Ahlul Bait. Tokoh mereka, Muhammad Bâqir Al-Majlisy, dalam kitabnya, Bihârul Anwâril Jâmi’ah Li Akhbâril A`immatil Ath-hâr 26/267, menyebut bab khusus dengan judul bab “Keutamaan (Para Imam Ahlul Bait) ‘alaihimus salam terhadap Para Nabi dan Seluruh Makhluk; Pengambilan Janji terhadap Para Nabi, Para Malaikat, dan Seluruh Makhluk Tentang Mereka; serta Bahwa Ulul ‘Azmi Ada sebagai Ulul ‘Azmi karena Kecintaan kepada (Para Imam Ahlul Bait) Shalawatullâhi ‘Alaihim.” Siapa saja yang mengingkari keimaman Ahlul Bait adalah kafir di kalangan penganut agama Syi’ah. Sumber riwayat mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulîny, meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya-, bahwa Ja’far berkata, “(Ada) tiga orang yang Allah tidak melihat kepada mereka pada hari Kiamat, tidak menyucikan mereka, dan siksaan pedih untuk mereka: (1) Orang yang mengakui suatu keimaman dari Allah yang bukan miliknya, (2) orang yang mengingkari seorang imam dari Allah, dan (3) Orang yang menyangka bahwa kedua (jenis orang) tersebut memiliki bagian dalam keislaman.” [Ushûlul Kâfy 1/434, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, cet. Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Dalam Amaly Ash-Shadûq, disebutkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi bahwa, “Siapa saja yang mengingkari keimaman Ali setelahku, dia telah mengingkari kenabian pada kehidupanku, sedang siapa saja yang mengingkari kenabianku, dia telah mengingkari rubûbiyah Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.” [Al-Amalyhal. 308, Bihârul Anwâr 34/109] Bahkan, mereka menganggap bahwa para nabi menegakkan seluruh risalah kenabian, dan risalah itu akan disempurnakan oleh imam kaum Syi’ah yang muncul pada akhir zaman. Tokoh mereka pada masa ini, Al-Khumainy, berkata, “Setiap nabi dari para nabi hanyalah datang untuk menegakkan keadilan, dan tujuannya adalah untuk menerapkan (keadilan) di alam, tetapi beliau tidaklah berhasil. Hingga, penutup para nabi, yang datang untuk memperbaiki dan mengatur manusia serta menerapkan keadilan, sesungguhnya juga tidak mendapat taufiq. Sesungguhnya, yang akan berhasil dengan segala makna kalimat (keberhasilan) dan menerapkan keadilan di seluruh penjuru dunia adalah Al-Mahdi yang ditunggu.” [Mukhtârât min Ahâdîts wa Khithâbât Al-Khumainy 2/42] Tidak seorang muslim pun yang meragukan kekafiran ucapan di atas, yang bertentangan dengan ayat-ayat Allah Ta’âlâ dan keyakinan yang dimaklumi dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Allah Subhânahû wa Ta’âla telah berfirman, يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, tetapi Allah tidaklah menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`an) dan agama yang benar untuk Dia menangkan (agama) itu atas segala agama, walau orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 32-33] 2. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Kedudukan Para Imam Ahlul Bait Kaum Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka mengetahui perkara ghaib. Dalam Ushûlul Kâfy karya ahli hadits mereka, Al-Kulîny, terdapat sejumlah riwayat dari para imam Ahlul Bait -semoga Allah merahmati mereka- tentang pengetahuan para imam akan ilmu ghaib. Riwayat-riwayat tersebut terangkai dalam sejumlah bab pembahasan, di antaranya adalah bab “Para Imam ‘alaihimus salamMengetahui Hal yang Telah Terjadi dan Hal yang Akan Terjadi, serta Tiada Suatu Apapun yang Tersembunyi terhadap Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/316], bab “Para Imam Mengetahui Waktu Meninggal Mereka, dan Mereka Tidak Meninggal, kecuali dengan Pilihan Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/313], dan bab “Para Imam ‘alaihimus salamMengetahui Seluruh Ilmu yang Keluar kepada Malaikat, Para Nabi, dan Para Rasul ‘alaihimus salam” [Ushûlul Kâfy 1/310]. Mereka juga meyakini bahwa ucapan para imam mereka adalah firman Allah. Dalam Ushûlul Kâfy, disebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Ucapanku adalah ucapan ayahku. Ucapan ayahku adalah ucapan kakekku. Ucapan kakekku adalah ucapan Al-Husain. Ucapan Al-Husain adalah ucapan Al-Hasan. Ucapan Al-Hasan adalah ucapan (Ali) Amirul Mukminin (A). Ucapan Amirul Mukminin adalah hadits Rasulullah (shâ). Hadits Rasulullah adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla.” [Ushûlul Kâfy 1/105] Dalam syarah kitab Ushûlul Kâfy, Muhammad Shalih Al-Mâzandarâny berkata, “Sesungguhnya hadits dari setiap imam yang tampak adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Tiada perbedaan dalam ucapan-ucapan para imam sebagaimana tiada perbedaan dalam firman Allah Ta’âlâ.” [Syarh Jâmi’ ‘Alâ Ushûlil Kâfy 2/272] Sikap ekstrem dan berlebihan di atas adalah kekafiran yang sangat jelas pada kelompok Syi’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa ada yang mengetahui hal ghaib dari makhluk adalah kafir menurut Al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan kaum muslimin. 3. Aqidah Raj’ah Kaum Syi’ah Al-Ahsâ`iy dalam kalangan Syi’ah memberi definisi, “Ketahuilah bahwa raj’ahadalah rahasia dari rahasia Allah. Berpendapat dengan (raj’ah) adalah buah keimanan kepada hal ghaib. Maksud (raj’ah) adalah kembalinya para imam ‘alaihimus salam dan syi’ah-nya serta musuh-musuh mereka dari yang keimanannya telah dimurnikan atau kekafirannya dari dua golongan, dan bukan tergolong orang-orang yang telah Allah binasakan di dunia dengan suatu siksaan. Apabila telah dibinasakan dengan suatu siksaan, mereka tidak akan kembali.” [Kitâbur Raj’ah hal. 11] Al-Majlisy menerangkan aqidah mereka, “Sungguh jiwa-jiwa yang telah pergi akan kembali dan akan melaksanakan qishash pada hari kebangkitan mereka. Siapa saja yang disiksa akan mengambil qishash dengan menyiksa (orang yang menyiksa)nya. Siapa saja yang dibuat marah akan melampiaskan kemarahannya. Siapa saja yang dibunuh akan mengambil qishash dengan membunuh (orang yang membunuh)nya, sedang musuh-musuh mereka akan dikembalikan bersama mereka sehingga mereka melampiaskan kemarahannya. Lalu, mereka dihidupkan selama tiga puluh bulan setelah (musuh) itu (dimatikan), kemudian meninggal dalam satu malam dalam keadaan telah melampiaskan kemarahan mereka dan memuaskan diri-diri mereka, sedangkan musuh-musuh mereka telah menuju siksaan neraka yang paling pedih. Selanjutnya, mereka berdiri di depan (Allah) Al-Jabbâr ‘Azza wa Jalla lalu (Allah) memberikan hak-hak mereka untuk mereka.” [Bihârul Anwâr 53/44] Menurut Syi’ah, musuh pertama yang akan dibangkitkan adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman. [Bihârul Anwâr 98/293] Mereka juga menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya- dalam menafsirkan firman Allah, “Oleh karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka sekadar sebentar.” [Ath-Thâriq: 17], bahwa Ja’far berkata, “Beri tangguhlah orang-orang kafir itu, wahai Muhammad, yaitu beri tangguhlah mereka itu sekadar sebentar untuk waktu kebangkitan Al-Qâ`im (Mahdi) ‘alaihis salam sehingga (Al-Qâ`im) membalas dendam untukku terhadap orang-orang yang bersombong serta para thaghut dari Quraisy, Bani Umayyah, dan seluruh manusia.” [Tafsîr Al-Qummi2/416] Aqidah kaum Syi’ah di atas adalah kekafiran nyata yang para ulama sepakati. Allah‘Azza wa Jalla telah menerangkan bahwa hanya ada alam kubur dan hari kiamat, حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) hingga, apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amalan shalih terhadap (amalan) yang telah kutinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang sekadar dia ucapkan. Sedang, di hadapan mereka, ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” [Al-Mu`minûn: 99-100] Allah ‘Azza wa Jalla juga menerangkan bahwa setelah kematian adalah kembali kepada-Nya, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Lalu, hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” [Al-‘Ankabût: 57] 4. Aqidah Al-Badâ` dalam Agama Syi’ah Dalam bahasa Arab, kata al-badâ` digunakan dalam dua makna: penampakan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan kemunculan pendapat baru. Dalam riwayat-riwayat kaum Syi’ah disebutkan, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu apapun yang semisal Al-Badâ`,”, “Tidaklah Allah diagungkan dengan sesuatu yang semisal Al-Badâ`.” [Ushûlul Kâfy 1/197], dan “Andaikata mengetahui pahala keyakinan tentang Al-Badâ`, manusia tidak akan bosan berbicara tentang (Al-Badâ`) itu.” [Ushûlul Kâfy 1/199] Dari Abu Hamzah Ats-Tsumâly, beliau berkata: Saya mendengar Abu Ja’far (Muhammad Al-Bâqir) ‘alaihis salam berkata, “Wahai Tsabit, sesungguhnya AllahTabâraka wa Ta’âlâ pernah menentukan perkara ini pada tahun 70. Tatkala Al-Husain shalawatullâhi ‘alaihi terbunuh, kemurkaan Allah terhadap penduduk bumi menjadi sangat besar sehingga Allah mengakhirkan (penentuan) itu hingga tahun 140. Kami telah menceritakan kepada kalian, dan kalian telah mendengarkannya kemudian menyingkap tirai penutup, sedang setelah itu Allah tidak menetapkan waktu tertentu di sisi kami. Allah menghapus yang Dia kehendaki dan menetapkan (yang Dia kehendaki), serta di sisi-Nya ada Ummul Kitab.” [Ushûlul Kâfy 1/429, Al-Ghâ`ibah karya Ath-Thûsy hal. 263 dan Bihârul Anwâr 52/105] Keyakinan kaum Syi’ah di atas disebut dalam banyak buku mereka dan diakui oleh ulama mereka. Tentu dimaklumi oleh seorang muslim bahwa keyakinan tersebut adalah kekafiran yang jelas karena mengharuskan kejahilan dan ketidaktahuan Allah terhadap hal yang akan terjadi. 5. Keyakinan Taqiyyah dalam Agama Syiah Dalam mendefinisikan taqiyyah, Al-Mufîd berkata, “Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menutupi (keyakinan) dari orang-orang yang menyelisihi dan tidak terang-terangan kepada mereka dalam hal yang mengakibatkan bahaya dalam agama atau dunia.” [Tash-hîhul I’tiqâd hal. 115] Al-Khumainy berkata, “Makna taqiyyah adalah seorang manusia mengatakan suatu ucapan yang berseberangan dengan kenyataan, atau mendatangkan amalan yang bertentangan dengan timbangan-timbangan syariat. Hal tersebut untuk menjaga darah, kehormatan, atau harta.” [Kasyful Asrâr hal 147] Keyakinan ini adalah suatu ibadah yang sangat agung di kalangan orang-orang Syi’ah. Dalam riwayat mereka, disebutkan dari Abu Umar Al-A’jamy bahwa dia berkata: Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata kepadaku, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya sembilan dari sepuluh bagian agama adalah taqiyyah, dan tiada agama bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah ….” [Ushûlul Kâfy 2/133, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Juga dari Sulaiman bin Khalid, dia berkata bahwa Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata, “Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas suatu agama. Siapa saja yang menyembunyikan (agama) itu, Allah akan memuliakannya. (Namun), siapa saja yang menyebarkan (agama) itu, Allah akan menghinakannya.” [Ushûlul Kâfy 2/136, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Bahkan, mereka berdusta dengan menisbatkan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa “Orang yang meninggalkan taqiyyah adalah seperti orang yang meninggalkan shalat.” [Jâmi’ul Akhbâr karya Ibnu Bâbawaih Ash-Shaqûq hal. 110 dan Bihârul Anwâr 74/412 karya Al-Majlisy] Keyakinan batil kaum Syi’ah ini menutupi segala kedustaan dan kontradiksi mereka. Sehingga, bila ditanyakan kepada mereka, “Mengapa Ali z membait Abu Bakr, Umar, dan Utsman?” Mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalahtaqiyyah, “Mengapa banyak kontradiksi ditemukan dalam buku-buku Syi’ah?” Mereka akan menjawab, “Itu taqiyyah.” An-Nubakhty menukil dari Sulaiman bin Jarir bahwa Sulaiman berkata, “Sesungguhnya, untuk syi’ah mereka, para imam Rafidhah meletakkan dua keyakinan yang, dengan (dua hal) itu, tidak akan tampak suatu kedustaan apapun dari para imam mereka. Dua keyakinan itu adalah keyakinan al-badâ` dan pembolehan taqiyyah. Adapun al-badâ`, itu karena para imam di tengah Syi’ah mereka menduduki kedudukan para nabi di tengah rakyat dalam keilmuan pada hal yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Apabila sesuatu yang mereka katakan terjadi, mereka berkata, ‘Bukankah kami telah memberitahu kalian bahwa hal ini akan terjadi? Dari Allah, kami mengetahui hal yang para nabi ketahui. Antara kami dan Allah terdapat sebab-sebab yang para nabi mengetahui hal yang mereka ketahui.’ Kalau sesuatu yang mereka katakan akan terjadi itu tidak terjadi, mereka berkata, ‘Telah terjadi al-badâ` pada Allah dalam hal tersebut.’.” [Firaq Asy-Syi’ahhal. 64-65] Bahkan maksud utama keyakinan taqiyyah ini adalah untuk mengeluarkan dan menjauhkan Syi’ah dari keislaman. Mereka menyebut riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Hal-hal yang kalian dengar dariku yang menyerupai ucapan manusia (yaitu kaum muslimin), padanya ada taqiyyah. (Sedangkan), hal-hal yang engkau dengar dariku yang tidak menyerupai ucapan manusia, tiada taqiyyah di dalamnya.” [Bihârul Anwâr 2/252] 6. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Al-Qur`an Banyak kekafiran kaum Syi’ah dalam keyakinan mereka tentang Al-Qur`an. Seorang muslim yang mengetahuinya pasti dadanya akan sesak dengan ucapan-ucapan mereka. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa Al-Qur`an, yang berada di tangan kaum muslimin, telah berkurang dan telah diubah atau diganti. Dalam riwayat Al-Kulîny dengan sanadnya dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq disebutkan, “Sesungguhnya Al-Qur`an yang Jibril bawa kepada Muhammadshallallâhu ‘alaihi wa âlihi adalah sebanyak tujuh belas ribu ayat.” [Ushûlul Kâfy2/350, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Dalam riwayat lain, “… Mushaf Fatimah adalah seperti Al-Qur`an kalian ini (sebanyak) tiga kali lipat. Demi Allah, di dalamnya tiada satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian ….” [Ushûlul Kâfy 1/295, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Muhsin Al-Kâsyâny, seorang ahli tafsir mereka, berkata, “Faedah yang terpetik dari riwayat-riwayat melalui jalur Ahlul Bait ‘alaihimus salam adalah bahwa Al-Qur`an yang berada di tengah kita tidaklah sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan, dalam (Al-Qur`an) itu, ada yang menyelisihi (firman) yang Allah turunkan, ada pula yang telah berubah lagi terganti dalam (Al-Qur`an). Juga sesungguhnya banyak hal telah dibuang dari (Al-Qur`an), di antaranya adalah nama Ali pada banyak tempat. Selain itu, Al-Qur`an juga tidak berada di atas susunan yang diridhai di sisi Allah dan di sisi rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsîrush Shâfy 1/49] Syaikh kaum Syi’ah, Al-Mufîd, berkata, “Sesungguhnya kabar-kabar yang datang sangatlah banyak, dari para imam petunjuk dari keluarga Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, tentang pertentangan Al-Qur`an dan apa-apa yang orang-orang zhalim adakan berupa penghapusan dan pengurangan di dalamnya ….” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 8] Ucapan ulama Syi’ah dari dahulu hingga belakangan menunjukkan aqidah ini, bahkan Syaikh kaum Syi’ah, An-Nûry Ath-Thabarsy, memiliki buku khusus yang berjudul Fashlul Khithâb Fî Itsbati Tahrîf Kalâmi Rabbil Arbab (Kata Pemutus tentang Penetapan Terjadinya Perubahan pada [Al-Qur`an] Kalam Rabbil Arbâb). Kalau ada dari kalangan Syi’ah yang mengingkari perubahan dan pergantian Al-Qur`an, hal tersebut hanya berasal dari aqidah taqiyyah mereka. Pegangan dan kumpulan dari Al-Qur`an, dengan berbagai riwayat dari masa para shahabat hingga hari ini, semuanya tidak berlaku di kalangan Syi’ah. Ahli hadits terpercaya kaum Syi’ah, Al-Kulîny, menyebutkan bab “Tiada yang Mengumpul Seluruh Al-Qur`an, Kecuali Para Imam (A), Sedang Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu (Al-Qur`an)”, kemudian membawakan riwayat dengan sanadnya dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa Abu Ja’far berkata, “Tiada seorang pun dari manusia yang mengaku mengumpulkan seluruh Al-Qur`an sebagaimana yang diturunkan, kecuali seorang pendusta. Tiada yang mengumpul dan menghafal (Al-Qur`an) sebagaimana yang Allah Ta’âlâ turunkan, kecuali Ali bin Abi Thalib (‘A) dan para imam setelahnya (‘A).” [Ushûlul Kâfy 1/284, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Dalam sifat Imam Mahdi kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Imam Mahdi akan keluar dengan membawa kitab baru. Mereka menyebutkan, “Telah mutawatir dari para imam yang suci shalawâtullâhi ‘alaihim bahwa imam zaman serta utusan masa dan waktu shalawâtullâhi wa salâmuhu ‘alaihi akan datang dengan kitab baru, sangat keras terhadap orang-orang Arab, dan kebanyakan tentara-tentaranya adalah anak-anak ajam (bukan Arab).” [Al-Fawâ`idul Madaniyyah Wasy Syawâhidul Makkiyyah hal. 532-533, Muhammad Amin dan Nûruddîn Al-‘Âmily] Maha Suci Allah dari kekafiran kaum Syi’ah. Allah telah berfirman, إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ. لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap Al-Qur`an, ketika (Al-Qur`an) itu datang kepada mereka, (pasti akan celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur`an) itu adalah kitab mulia. Tiada kebatilan yang datang pada (Al-Qur`an), baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [Fushshilat: 41-42] 7. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam Dalam keyakinan kaum Syi’ah, seluruh hadits yang tidak berasal dari jalur Ahlul Bait tidaklah diterima. Salah satu rujukan mereka, Muhammad Husain Âlu Kâsyifil Ghithâ, berkata, “Sesungguhnya Syi’ah tidak menganggap (sesuatu) sebagai sunnah, kecuali hal-hal yang telah shahih untuk mereka melalui jalur-jalur Ahlul Bait …. Adapun riwayat Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, ‘Amr bin ‘Âsh, dan semisalnya, itu tidaklah bernilai (semisal) seekor lalat di kalangan orang-orang Syi’ah Imamiyyah. [Ashlush Syi’ah wa Ushûluhu hal. 79] Asy-Syâhid Nûrullâhi At-Tastury berkata, “… (Hal itu) karena Al-Bukhâry, Muslim, dan semisalnya adalah para pemalsu hadits lagi para pendusta di kalangan Syi’ah. Bahkan, karena banyak alasan, mereka menetapkan kedunguan dan pendeknya pemahaman Al-Bukhâry perihal membedakan antara (hadits) shahih dan dha’if.” [Ash-Shawârimul Muhriqah hal. 57] Terlebih lagi, menurut mereka, orang yang mengambil riwayat dari selain Ahlul Bait adalah musyrik. Dalam sebuah riwayat dalam buku terpercaya mereka, disebutkan bahwa Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq menyatakan, “… Dan siapa saja yang mengaku mendengar dari selain pintu yang Allah buka untuknya, dia adalah musyrik ….” [Ushûlul Kâfy 1/439, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Juga, salah satu bab Ushûlul Kâfy 1/464 berjudul “Sesunggunya Tiada Suatu Kebenaran di Tangan Manusia, Kecuali dari Apa-Apa yang Keluar dari Sisi Para Imam (‘A), Sedang Segala Sesuatu yang Tidak Keluar dari Sisi Mereka adalah Batil.” Bila keyakinan kaum Syi’ah terhadap hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang berada di tangan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, berarti kaum Syi’ah telah menolak agama Islam ini dan mendustakan sumber kedua yang menjadi rujukan kaum muslimin. Allah telah berfirman, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Segala sesuatu yang Rasul datangkan kepada kalian, terimalah, sedang segala sesuatu yang dia larang terhadap kalian, tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7] 8. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Para Shahabat Dalam buku-buku mereka, terdapat riwayat dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia adalah murtad setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang. Saya (perawi) bertanya, ‘Siapakan ketiga orang itu?’ Beliau menjawab, ‘Al-Miqdâd, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy.’ ….” [Raudhatul Kâfy 8/198, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Mereka meriwayatkan pula dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhubahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira, serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi meninggal, sedang beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly karya Ash-Shadûq hal 726] Al-Majlisy berkata, “Sesungguhnya, tergolong sebagai keharusan aksioma agama Imamiyah: penghalalan mut’ah, haji Tamattu’, serta berlepas diri dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Mu’âwiyah.” [Al-I’tiqâdât karya Al-Majlisy hal. 90-91] Ucapan-ucapan keji kaum Syi’ah terhadap para shahabat dan istri-istri Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini sangatlah banyak. Seluruh hal tersebut adalah pengingkaran terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang memuji dan menyanjung para shahabat radhiyallâhu ‘anhum. Allah ‘Azza wa Jalla telah menyifatkan orang yang jengkel terhadap para shahabat sebagai orang kafir dalam firman-Nya setelah menyebutkan sifat para shahabat dalam Taurat dan Injil, لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “… Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” [Al-Fath: 29] 9. Kesyirikan di Kalangan Kaum Syi’ah Muhammad bin Ali Ash-Shadûq membawakan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq bahwa Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memiliki makhluk dari rahmat-Nya. Allah menciptakan mereka dari cahaya-Nya dan (menciptakan) rahmat-Nya dari rahmat-Nya untuk rahmat-Nya. Mereka adalah mata Allah yang melihat, telinga-Nya yang mendengar, dan lisan-Nya yang berbicara di tengah makhluk-Nya dengan seizin-Nya, serta para kepercayaan-Nya terhadap apa-apa yang (Allah) turunkan berupa udzur, nadzar, dan hujjah. Dengan mereka, (Allah) menghapus dosa-dosa, menolak kesedihan, menurunkan rahmat, menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. Dengan mereka, (Allah) menguji makhluk-Nya dan menetapkan putusan-Nya di tengah makhluk-Nya.” Perawi bertanya, “Semoga Allah menjadikanku sebagai penebusmu. Siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mendapat wasiat.” [At-Tauhîd karya Ash-Shâduq hal. 167, cet. Dârul Ma’rifah, Beirut] Dalam Mustadrak Al-Wasâ`il, Ath-Thabarsy membuat bab berjudul “Kebolehan Thawaf di Kuburan”. Dalam Amâly Ath-Thûsy, Muhammad bin Hasan Ath-Thûsy menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Sesunggunya AllahTa’âlâ telah menjadikan tanah kakekku, Husain ‘alaihis salam, sebagai penyembuh untuk segala penyakit dan pengaman dari segala kekhawatiran. Apabila salah seorang dari kalian mengambil (tanah) itu, hendaknya dia mencium dan meletakkan (tanah) itu pada kedua matanya lalu melewatkan (tanah) itu pada seluruh jasadnya. Hendaknya dia berkata, ‘Ya Allah, dengan hak tanah ini dan hak orang yang menyatu dan tertanam di dalam (tanah) ini, dengan hak ayahnya, ibunya, saudaranya, dan para imam dari keturunannya, dan dengan hak para malaikat yang mengitarinya, pasti Engkau menjadikan (tanah) ini sebagai obat untuk segala penyakit, penyembuh untuk segala penyakit, keselamatan dari segala bahaya, dan pelindung dari segala yang aku khawatirkan, serta aku berhati-hati terhadap (tanah) ini.’ Lalu, dia menggunakan tanah tersebut.” [Amâly Ath-Thabarsy, Mu`assasah Al-Wafâ`, Beirut, cet ke-2, 1401 H] Banyak sekali bentuk kesyirikan kaum Syi’ah yang tidak bisa kami detailkan dalam tulisan ringkas ini, seperti (1) menjadikan para imam mereka sebagai perantara antara makhluk dan Allah; (2) Beristighatsah kepada Allah dengan menyebut imam-imam mereka; (3) Kewajiban ziarah ke kubur Al-Husain dan kekafiran orang yang meninggalkan kewajiban ini; (4) Kebolehan melaksanakan thawaf, shalat dan bersungkur di kuburan; serta kesyirikan lain. Kesyirikan kaum Syi’ah meliputi segala hal: dalam Rubûbiyyah, Ulûhiyyah dan Al-Asmâ` wa Ash-Shifât. 10. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Kaum Muslimin Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Kami tidaklah bersepakat dengan mereka (kaum muslimin) pada ilah (sembahan). Tidak pada nabi, tidak pula pada imam. Hal tersebut adalah karena mereka (kaum muslimin) berkata bahwa Rabb mereka adalah Rabb Yang Muhammad adalah nabi-Nya dan khalifah-Nya setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakr. Kami tidak berkata dengan Rabb ini tidak pula dengan nabi tersebut. Namun, kami berkata bahwa Rabb yang khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakr bukanlah Rabb kami, dan nabi itu bukanlah nabi kami.” [Al-Anwârun Nu’mâniyyah 2/278, cet. Al-A’lamy Lil Mathbû’ât, Beirut, 1404 H] Muhaqqiq mereka, Yusuf Al-Bahrany, menyebutkan kekafiran kaum muslimin di kalangan orang-orang Syi’ah dalam ucapannya, “Tahqiq yang diambil dari kabar-kabar Ahlul Bait ‘alaihimus salam -sebagaimana penjelasan kami, yang tidak memerlukan tambahan, dalam kitab Asy-Syihâbuts Tsâqib- bahwa seluruh orang yang menyelisihi lagi mengetahui keimaman dan mengingkari keyakinan (keimaman) adalah para nawâshib[1], orang-orang kafir, dan orang-orang musyrik yang tidak memiliki jatah dan bagian dalam keislaman tidak pula dalam hukum-hukum (Islam) ….” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 14/159] Mereka juga menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta menganggap bahwa kaum muslimin adalah kafir dan najis sebagaimana dalam banyak buku mereka dengan berbagai riwayat. Biarlah Yusuf Al-Bahrany mewakili mereka. Dia berkata, “Tiada silang pendapat di kalangan shahabat kami dan selainnya dari yang berpendapat dengan keyakinan ini tentang kekafiran, kenajisan, serta kehalalan darah dan harta nâshib. Juga bahwa hukum terhadap (nâshib) adalah sama dengan hukum terhadap kafir harby.” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 10/42] Karena kekafiran kaum muslimin itulah, dalam buku-buku mereka, terurai tentang ketidakbolehan menikahi kaum muslimin, mengerjakan shalat di belakang kaum muslimin, menshalati jenazah kaum muslimin, dan menjatuhkan hukum bahwa kaum muslimin kekal dalam neraka. Demikian sebagian kesesatan dan kekafiran agama Syi’ah. Meski masih banyak hal yang belum bisa disebut pada tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi sebagian kaum muslimin, yang tertipu oleh kaum Syiah, agar mereka rujuk kepada Islam yang benar, dan semoga menjadi bekal seorang muslim untuk teguh di atas agama. Wallahu A’lam. [1] Nawâshib adalah bentuk jamak dari kata nâshib, yaitu gelar yang mereka gunakan untuk kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka. (sumber : dzulqarnain.net)

Seperti emisi kuda

Seperti emisi kuda
Alkitab adalah kitab suci tak terbantahkan! Itu benar. Tak terbantahkan dari apa? Tak terbantahkan dari memuat kisah-kisah mesum yang tak pantas dijadikan pelajaran. Salah satunya adalah Dua perempuan bersaudara berlomba dalam prostitusi: Bagi kegemarannya thd kekasih-kekasihnya yg auratnya seperti aurat keledai dan emisinya seperti emisi kuda. (Yehezkiel 23: 1-35) Apa kandungan moral dari kisah tsb? Tidak ada! Karena Alkitab adalah kitab suci tak bermoral. Anda perhatikan sebuah kitab suci telah menulis “seperti aurat keledai” dan “seperti emisi kuda”. Emisi adalah zakar atau alat kemaluan (penis) bagi pejantan. Anda bangga mempunyai kitab suci yg menulis alat kemaluan dengan vulgar? Sepantasnya Anda merasa malu...

Teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti

Teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti
DR. Maurice Bucaille, sarjana dan seorang dokter berkebangsaan Prancis, peneliti 3 kitab suci agama terbesar di dunia (Katholik, Protestan dan Islam) menyatakan kesannya yang mendalam tentang teks Al-Qur’an. Berikut pernyataannya dalam buku yang ia tulis “Sains dalam Al-Qur’an dan Injil” (diterbitkan Balqist Tahun 2011): “Apa yang menampar pembaca ketika pertama kali dihadapkan pada teks ini adalah, berlimpahnya persoalan yang didiskusikan: penciptaan, astronomi, penjelasan materi-materi tertentu yang berkaitan dengan bumi, kerajaan bintang dan tumbuhan, serta reproduksi manusia. Sementara kesalahan-kesalahan besar didapatkan pada Kitab Injil, saya tidak menemukan satu pun kesalahan dalam Al-Qur’an. Saya diam dan bertanya pada diri sendiri: jika Al-Qur’an adalah karya manusia, bagaimana mungkin dia telah bisa menuliskan di fakta-fakta abad 7 M yang saat ini sesuai dengan pengetahuan ilmiah modern? Tidak ada keraguan tentangnya, jika saya boleh mengatakan, teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti. Penjelasan apa yang dapat diberikan manusia untuk penelitian ini? Menurut saya tak ada penjelasan; tidak ada alasan khusus mengapa penduduk Semenanjung Arab pada waktu Raja Dagobert berkuasa di Prancis (629-639 M), telah mempunyai pengetahuan ilmiah untuk persoalan-persoalan tertentu pada sepuluh abad yang lalu.” (hlm.160-161) Anda perlu membaca buku dokter Prancis itu, supaya pengetahuan Anda tentang Islam dan khususnya Kitab Suci Al-Qur’an tidak picik dan menganggap remeh.

Fatimah Az-Zahra

Fatimah Az-Zahra
Ketika Rasulullah sudah dekat ajalnya, beliau memanggil Fathimah, putrinya, agar mendekat. Dibisikkan sesuatu di telinga Fathimah, kemudian dia menangis. Setelah itu beliau membisikkan sesuatu kembali hingga kemudian putrinya tersenyum. Ditanyakan kepadanya, “Hai, Fathimah, apa yang membuatmu menangis kemudian tersenyum?” Jawab Fathimah, “Rasulullah membisiki aku bahwa beliau akan meninggal dunia, lalu aku pun menangis. Kemudian beliau membisiki aku lagi, mengatakan bahwa akulah anggota keluarga beliau yang pertama kali akan menyusul beliau. Maka aku pun tersenyum.” Alangkah bahagianya Fathimah sebagai ahlul-bait, orang yang pertama kali dari anggota keluarga Nabi yang menyusul kepergian Rasulullah untuk selama-lamanya. Kisah diriwayatkan sebagai hadits sahih (muttafak-alaih).