Share: Kiai Sahal Mahfudh
Berziarah ke
tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan atau disucikan karena mempunyai
nilai-nilai bersejarah sebagai sebuah ritual dijumpai dalam banyak agama dan
bangsa. (al-Islam Aqidah wa Syari’ah, 120).
Haji, yaitu mengunjungi Ka’bah untuk
beribadah dengan mengerjakan thawaf, sa’i dan sebagainya sudah disyariatkan
sebelum diutusnya Rasulullah Salallahu Alaihi wa Sallam. Menurut
penuturan al-Quran, Ka’bah adalah baitullah pertama di dunia, dibangun oleh
Nabi Ibrahim Alaihi Salam dibantu putranya Nabi Ismail Alaihi Salam.
Hal ini sebagaimana firman Allah:
وإذيرفع إبراهم
القواعدمن البيت وإسماعل ربناتقبل مناإنك أنت السمع العليم (البقرة: 127)
”Dan (ingatlah) aketika Ibrahim
meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), ‘Ya
Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkaulah Yang
Mahamendengar lagi Mahamengetahui.” (Q.S.
al-Baqarah: 127)
Ibn Ishaq, sejarawan besar muslim,
menyatakan setiap nabi yang diutus Allah setelah Ibrahim Alaihi Salam
pernah menjalankan haji. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah: IV, 349)
Ketika Rasulullah memulai misi
dakwahnya, masyarakat Arab pra Islam selalu berziarah ke Ka’bah untuk
beribadah, meskipun dengan cara yang telah mengalami banyak penyimpangan dari
ajaran yang benar.
Kapan haji diwajibkan atas umat Islam
terdapat beragam pendapat. Ada
yang mengatakan sebelum hijrah dan ada pula yang menyatakan sebaliknya. Yang
berpendapat setelah hijrah sebagian menunjuk tahun pertama, kedua sampai tahun
ke sepuluh hijriah. (al-Futuhat ar-Rabbaniyyah: IV, 350)
Menurut DR. Wahbah az-Zuhaili haji
diwajibkan pada akhir tahun 9 H dengan merujuk pada waktu turunnya ayat berikut
ini:
ولله على النا س
حج اليت من استطاع إليه سبيلاومن كفرفإن الله غني عن العلمين (ال عمران: 97)
”Dan mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia kepada Allah, yaitu (bagi) orang yang sangup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.” (Q.S. Ali Imran: 97)
Pendapat ini juga dianut mayoritas
ulama. (al-Fiqh al-Islami: III, 2065)
Seumur hidupnya rasulullah Salallahu
Alaihi wa Sallam melakukan haji hanya satu kali pada tahun 10 H dengan
diikuti kurang lebih 100.000 sahabat. Haji Rasulullah terkenal dengan sebutan haji
wada’ (haji perpisahan). Dinamakan demikian karena pada saat itu di Arafah
turun ayat al-Quran yang menyatakan bahwa Islam telah sempurna dan diridhai
sebagai agama untuk manusia seperti tercantum dalam al-Quran:
اليوم أكملت لكم
دينكم وأتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم الاسلام دينا (المائدة : 3)
”Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai
Islam menjadi agma bagimu.” (Q.S. al-Maidah: 3)
Kesempurnaan Islam menandai selesainya misi yang diemban Rasulullah
sebagai seorang rasul. Dan memang menurut
catatan sejarah, kira-kira tiga bulan setelah haji wada’ Rasulullah Salallahu
Alaihi wa Sallam wafat. (Sirah Rasulullah, 311)
Dalam haji wada’ itulah rasulullah
mengajarkan kepada para sahabat yang menyertainya tentang tata cara beribadah
haji, dengan melihat dan mempraktikkan secara langsung. Kisah perjalanan haji
Rasulullah ini banyak diterangkan dalam kitab-kitab hadis secara mendetail, dan
dijadikan rujukan utama dalam membahas masalah haji oleh para ulama fiqih.
Setiap orang tentu ingin mendapat haji
mabrur. Haji mabrur adalah haji yang bebas dari perbuatan maksiat (alladzi la yukhalithuh itsm).
Beberapa perbuatan yang dilarang saat menjalankan haji diterangkan al-Quran
diantaranya:
الحج أشهرمعلوماتفمن فرض فيهن الحج فلارفث ولافسوق ولاجدال في الحج
(البقرة: 197)
”(Musim) haji adalah beberapa
bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu
mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan
di dalam masa mengerjakan haji.” (Q.S al-Baqarah: 197)
Rafats
adalah menggauli istri. Sedangkan tindakan fasik meliputi segala
tindakan melampaui batas agama. (Syarah Muslim: V, 119)
Ini
artinya untuk mendapat haji mabrur yang dijanjikan berpahala surga, setiap
jamaah haji harus menjaga seluruh anggota tubuh dan hatinya dari perbuatan
maksiat dalam segala bentuknya.setiap jamaah diharapkan senantiasa ikhlas,
tawakkal dan tawadhu’. Haji mabrur sudah barang tentu harus sesuai
dengan tata cara yang diajarkan Rasulullah. Pemahaman tentang masalah haji
dalam rangka meraih haji mabrur sangat penting sekali.
Sebagian
ulama menyatakan haji mabrur adalah haji maqbul (diterima Allah).
Diterimanya suatu ibadah pada dasarnya menjadi urusan Allah. Tetapi kita bisa
memperkirakannya dari dampak-dampaknya. Haji yang diterima Allah bercirikan
pelakunya menjadi lebih baik setelah kembali dari tanah suci. Lebih tekun
beribadah dan tidak mengulangi kesalahan-kesalahan yang sama sebelum berangkat.
Semoga kita semua mendapat haji mabrur.***
(Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel
Suci, Surabaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar