Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang,
karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan
mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah tidak ada salahnya mengulang kembali.
Tawassul
berasal dari kata wasala-wslan-wasilatan atau tawassulan yang
berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam al-Quran:
وابتغواإليه
الوسيلة (المائده:35)
”Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (Q.S. al-Maidah: 35)
Tawassul atau perantara adalah
mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam
Mufradat Alfazhi al-Quran, Mu’jam al-Washit: II, 32).
Bagaimana tawassul yang benar? Mari kita
telusuri. Kita ingat ayat:
قالواياابانااستغفرلناذنوبناإناكناخاطئيين
(يوسوف: 97)
”Mereka
berkata, ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami,
sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.” (Q.S Yusuf: 97)
Inilah
salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putra-putra Nabi Ya’qub)
datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah
mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alas an
tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala.
Kita
kaji ayat yang lain:
ولوأنهم إذظلم
اأنفسهم جاؤك فاستغفرواالله واستغفرلهم الرسول لوجدواالله توابارحيما (النساء: 64)
”Sesungguhnya jika mereka ketika
menganiaya dirinya tentang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul
pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Mahapenerima
tobat lagi Mahapenyayang.” (Q.S. an-Nisa’:
64)
Dari sini seolah-olah Allah
menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan
kekasih-kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal ini Rasul. Demikian
pula aperwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan
memohon agar berkenan berdoa untuk mereka.
Kedua ayat ini secara jelas
mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup
maupun sudah mati mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia
saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai Allah. Kepada mereka,
Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.
Karena
posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan untuk ta’zhim, hormat dan
mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir
al-Mukminin Sayyidina Umar ibn Khaththab pernah bertawassul kepada
Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya
beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian
berdoa:
اللهم كنانتوسل إليك بنبينافتسقيناوإنانتوسل إليك بعم نبينافاسقنافيسقون
(رواه البخاري)
”Wahai
Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan.
Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman Nabi, berikanlah kami hujan. Kemudian
turunlah hujan.” (Minhaj al-Yaqin, 19)
Dengan
demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang
di tawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan allah kepada
mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di
atas allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikian cara tawassul yang benar.
Sekarang
bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan? Mari kita bandingkan.
Saya
teringat sebuah ayat sebagai berikut:
مانعبد هم
إلاليقربوناإلى الله زلفى (الزمر: 3)
”Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.”
(Q.S.
az-Zumar: 3)
Ayat di atas adalah potongan perkataan oran g musyrik yang membolehkabn penyembahan
berhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya
Allah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patutu
disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah
berada di luar jkoridor tauhid yang menyejajarkan Allah dan berhala dalam hal
ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan
lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Mekah memiliki
berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir kemudian turun ayat:
ولاتسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغيرعلم (الانعم: 108)
”Dan janganlah kamu memaki
sesembahan-sesembahan yang meraka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Q.S. al-An’am: 108)
Dari ayat itu bisa dilihat betapa
orang kafir menempatkan berhala mereka
jauh di atas Allah Rabb al-’Alamin dan menganggap berhala-berhala itu
memberikan manfaat dan madharat.
Apakah tawassul sampai kepada ahli
kubur? (dengan bacaan tahlil atau al-Quran)
Imam
Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan al-Quran
sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’
li al-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan al-Quran
kepada ahli kubur boleh dan pahalanya pun sampai kepada mereka. Pahala yang
sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang
diniatkan untuk mereka.***
Jangan Bertawassul
Syariat menganjurkan kaum
laki-laki untuk berziarah_tidak demikian dengan kaum wanita_agar kit aingat
hari ketika kita dihadapkan ke hadirat Allah, supaya kitamenjauhi dunia berikut
segala perhiasannya untuk menyatukan hati dan perkataan dalam mengabdi kepada
Allah. Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ziarahilah
kuburan! Ziarah kubur dapat membuatmu
ingat pada akhirat.”
Berdasarkan
hadis tadi, tujuan ziarah kubur adalah mengingatkan diri akan akhirat, bukan
bertawassul dengan orang mati. Seluruh perbuatan orang yang bertawassul dengan
orang mati ditolak dunia dan akhirat. Ia harus bertobat dan kembali pada allah.
Kalau kita ajukan pertanyaan pada mereka, ”Mengapa kalian lakukan pekerjaan
syirik yang merupakan bagian tradisi jahiliah ini?”
Jawaban
yang mereka kemukakan biasanya, ”Kami tidak menyembah kuburan. Kami hanya meminta
berkah dan menjadikan penghuninya sebagai sarana bertawassul kepada Allah.”
Jawaban
ini sama seperti jawaban kaum jahiliah yang musyrik dan menyembah berhala.
”Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama
yang bersih (dari syirik), dan orang-orang yang mengambil pelindung selain
Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan
kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya
Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih
padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan
sangat ingkar.” (Q.S. al-Zumar [39]: 3)
Atas dasar itulah Rasulullah Salallahu
alaihi wa sallam bersabda, ”Ya Allah, jangan jadikan kuburanku berhala yang
disembah.” Maksud dari berhala yang disembah adalah dijadikan sarana
bertawassul dan meminta berkah, didatangi dengan anggapan bahwa kuburan itu
bisa mampu mendatangkan manfaat dan musibah.
“Dan
Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu.
"Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan
tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi. karena itu, Maka hendaklah
Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang
bersyukur."
(Q.S.
al-Zumar [39]: 65-66)
Orang yang bertawassul dengan kuburan
di mana pun dan kapan pun, bersimpuh berdoa dengan keyakinan bahwa orang yang
dikubur di situ bisa mendatangkan manfaat dan mudarat, maka semua yang mereka
lakukan adalah sia-sia dan tak berguna sedikit pun.
Kebiasaan orang-orang Yahudi dan
Nasrani dalam menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud, sekarang sudah
menulari umat Islam. Anda dapat melihat kebodohan mereka menyekutukan Allah
dengan cara mendekatkan diri pada kuburan dan bertawassul pada penghuninya.
Mereka terjebak dalam kesesatan sebagaimana orang-orang sebelum mereka.
Ironisnya, semua ini terjadi dengan sepengetahuan ulama mereka. Semoga Allah
menganugerahkan petunjuk-Nya.
“Orang-orang
Yahudi berkata, ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al masih
itu putera Allah.’ Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka
meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka,
bagaimana mereka sampai berpaling?”
(Q.S.
al-Tawbah [9]: 30)
Allah melenyapkan siapa saja yang
menyekutukan-Nya atau bertawassul dengan selain-Nya. Ibn Taymiyah berkata,
”Sesungguhnya para rasul adalah perantara hidayah dan penyampai risalah dari
Allah kepada kita, bukan perantara dalam beribadah antara kita dengan Allah.”
Jadi, orang yang bertawassul, meminta
syafaat kepada mayat yang sudah dikebumikan, sebetulnya sedang melakukan
aktivitas yang tidak berguna. Ziarah kubur yang dianjurkan syariat ditujukan
untuk mengingatkan kita akan akhirat dan memanjatkan doa memohon agar
penghuninya dirahmati Allah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.
Adab
Berziarah
Di antara
tata cara ziarah kubur adalah tidak duduk di atasnya. Itu dilarang Rasulullah Salallahu
alaihi wa sallam dalam
sabdanya, ”Jangan sembah kuburan dan jangan duduk di atasnya.: beliau juga
bersabda, ”Duduk di atas bara sampai pakaianku terbakar kemudian menjalar ke
tubuhku masih lebih baik bagiku daripada duduk di atas kuburan.”
Adab berziarah yang lain adalah tidak
mendirikan salat wajib di atas kuburan. Yang diperbolehkan adalah salat
jenazah, itu pun dengan syarat orang yang dikuburkan itu belum ia sembahyangkan
dan belum berselang sebulanlamanya sejak dikuburkan. Adab yang lain adalah
tidak berjalan di atas kuburan.
Keharusan lainnya adalah merendahkan
kuburan yang tinggi. ’Ali ibn Abi Thalib berkata, ”Aku diperintah Rasulullah Salallahu
alaihi wa sallam untuk
meratakan kuburan yang tinggi.” Maksudnya, diratakan dengan tanah. Tinggi yang
wajar untuk kuburan adalah sejengkal, sekadar tanda agar diketahui. Begitulah
sunahnya.***
(’Aidh ibn ’Abd Allah al-Qarni, Drama
Kematian, Serambi, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar