17 Nov 2014

Tawassul, Perlukah?

Sebenarnya permasalahan ini sudah sangat usang, karena puluhan tahun yang lalu pertanyaan ini sudah muncul ke permukaan dan mendapatkan jawabannya. Tapi tak apalah tidak ada salahnya mengulang kembali.
          Tawassul berasal dari kata wasala-wslan-wasilatan atau tawassulan yang berarti sesuatu (sebagai wasilah atau perantara) untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pengertian itu seperti yang ada dalam al-Quran:

وابتغواإليه الوسيلة (المائده:35)

          ”Dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya.” (Q.S. al-Maidah: 35)

          Tawassul atau perantara adalah mengerjakan sesuatu (apa saja) dengan maksud mendekatkan diri kepada Allah. (Mu’jam Mufradat Alfazhi al-Quran, Mu’jam al-Washit: II, 32).
          Bagaimana tawassul yang benar? Mari kita telusuri. Kita ingat ayat:

قالواياابانااستغفرلناذنوبناإناكناخاطئيين (يوسوف: 97)

          ”Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah.” (Q.S Yusuf: 97)
          Inilah salah satu cara bertawassul. Pada saat itu mereka (putra-putra Nabi Ya’qub) datang menemui ayahnya agar berdoa kepada Allah atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan. Menentukan pilihan kepada Nabi Ya’qub bukannya tanpa alas an tetapi karena memang sang ayah dianggap dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
          Kita kaji ayat yang lain:

ولوأنهم إذظلم اأنفسهم جاؤك فاستغفرواالله واستغفرلهم الرسول لوجدواالله توابارحيما (النساء: 64)

          ”Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya tentang kepadamu lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka tentulah mereka mendapati Allah Mahapenerima tobat lagi Mahapenyayang.” (Q.S. an-Nisa’: 64)

          Dari sini seolah-olah Allah menganjurkan manusia untuk hormat, ta’zhim dan mahabbah dengan kekasih-kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam hal ini Rasul. Demikian pula aperwujudan kecintaan itu dengan datang kepada para kekasih itu dan memohon agar berkenan berdoa untuk mereka.
          Kedua ayat ini secara jelas mengisyaratkan bahwa di dunia ini ada manusia-manusia tertentu baik masih hidup maupun sudah mati mempunyai derajat yang tinggi di hadapan Allah. Karena mereka tergolong manusia saleh yang dekat, maka dengan sendirinya akan dicintai Allah. Kepada mereka, Allah memuliakan dan mengabulkan segala permintaannya.
          Karena posisinya yang demikian itu, agama juga menganjurkan untuk ta’zhim, hormat dan mahabbah kepada mereka. Dalam hadis riwayat Imam Bukhari diriwayatkan bahwa Amir al-Mukminin Sayyidina Umar ibn Khaththab pernah bertawassul kepada Abbas, paman Nabi. Ketika itu negara tengah dilanda kemarau panjang. Karenanya beliau mengerjakan shalat istisqa’ (shalat minta hujan), kemudian berdoa:

اللهم كنانتوسل إليك بنبينافتسقيناوإنانتوسل إليك بعم نبينافاسقنافيسقون (رواه البخاري)

          ”Wahai Allah sesungguhnya kami tawassul kepada Nabi kami, maka berikanlah kami hujan. Dan kami bertawassul kepadamu wahai paman Nabi, berikanlah kami hujan. Kemudian turunlah hujan.” (Minhaj al-Yaqin, 19)
          Dengan demikian motifasi tawassul adalah berharap berkah atas derajat seseorang yang di tawassuli (wasilah) di sisi Allah dan kedekatan serta kecintaan allah kepada mereka. Tawassul tidak sampai mensejajarkan apalagi mengunggulkan wasilah di atas allah dan sifat ketuhanan-Nya. Demikian cara tawassul yang benar.
          Sekarang bagaimana tawassul yang menyebabkan kemusyrikan? Mari kita bandingkan.
          Saya teringat sebuah ayat sebagai berikut:

          مانعبد هم إلاليقربوناإلى الله زلفى (الزمر: 3)
         
”Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Q.S. az-Zumar: 3)
          Ayat di atas adalah potongan perkataan orang musyrik yang membolehkabn penyembahan berhala. Seandainya mereka benar dengan maksud tawassulnya maka seharusnya Allah yang lebih agung dari berhala mereka, sehingga tak ada yang patutu disembah selain Dia. Di sinilah kemusyrikan itu kemudian timbul karena sudah berada di luar jkoridor tauhid yang menyejajarkan Allah dan berhala dalam hal ma’bud atau sesembahan. Bahkan mereka menganggap berhala lebih hebat dan lebih tinggi dari Allah. Kita ingat ketika orang mukmin di Mekah memiliki berhala-berhala yang dimiliki kaum kafir kemudian turun ayat:

ولاتسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغيرعلم (الانعم: 108)

          ”Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang meraka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (Q.S. al-An’am: 108)
          Dari ayat itu bisa dilihat betapa orang kafir menempatkan berhala mereka  jauh di atas Allah Rabb al-’Alamin dan menganggap berhala-berhala itu memberikan manfaat dan madharat.

Apakah tawassul sampai kepada ahli kubur? (dengan bacaan tahlil atau al-Quran)

Imam Nawawi salah seorang ulama Syafi’iyah mengatakan bahwa pahala bacaan al-Quran sampai pada mayit yang juga dibenarkan oleh Imam Ibn Hanbal. Dalam kitab Majmu’ li al-Allamah, Muhammad Arabi juga menyebutkan bahwa bacaan al-Quran kepada ahli kubur boleh dan pahalanya pun sampai kepada mereka. Pahala yang sampai kepada ahli kubur bukan hanya itu, melainkan juga semua amal yang diniatkan untuk mereka.***

(Kiai Sahal Mahfudh, Solusi Problematika Umat, Ampel Suci, Surabaya)

Jangan Bertawassul

Syariat menganjurkan kaum laki-laki untuk berziarah_tidak demikian dengan kaum wanita_agar kit aingat hari ketika kita dihadapkan ke hadirat Allah, supaya kitamenjauhi dunia berikut segala perhiasannya untuk menyatukan hati dan perkataan dalam mengabdi kepada Allah. Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ziarahilah kuburan! Ziarah kubur  dapat membuatmu ingat pada akhirat.”

          Berdasarkan hadis tadi, tujuan ziarah kubur adalah mengingatkan diri akan akhirat, bukan bertawassul dengan orang mati. Seluruh perbuatan orang yang bertawassul dengan orang mati ditolak dunia dan akhirat. Ia harus bertobat dan kembali pada allah. Kalau kita ajukan pertanyaan pada mereka, ”Mengapa kalian lakukan pekerjaan syirik yang merupakan bagian tradisi jahiliah ini?”

          Jawaban yang mereka kemukakan biasanya, ”Kami tidak menyembah kuburan. Kami hanya meminta berkah dan menjadikan penghuninya sebagai sarana bertawassul kepada Allah.”

          Jawaban ini sama seperti jawaban kaum jahiliah yang musyrik dan menyembah berhala.

”Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik), dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.” (Q.S. al-Zumar [39]: 3)

          Atas dasar itulah Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam bersabda, ”Ya Allah, jangan jadikan kuburanku berhala yang disembah.” Maksud dari berhala yang disembah adalah dijadikan sarana bertawassul dan meminta berkah, didatangi dengan anggapan bahwa kuburan itu bisa mampu mendatangkan manfaat dan musibah.

“Dan Sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu. "Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu Termasuk orang-orang yang merugi. karena itu, Maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur."
(Q.S. al-Zumar [39]: 65-66)

          Orang yang bertawassul dengan kuburan di mana pun dan kapan pun, bersimpuh berdoa dengan keyakinan bahwa orang yang dikubur di situ bisa mendatangkan manfaat dan mudarat, maka semua yang mereka lakukan adalah sia-sia dan tak berguna sedikit pun.

          Kebiasaan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam menjadikan kuburan para nabi sebagai tempat sujud, sekarang sudah menulari umat Islam. Anda dapat melihat kebodohan mereka menyekutukan Allah dengan cara mendekatkan diri pada kuburan dan bertawassul pada penghuninya. Mereka terjebak dalam kesesatan sebagaimana orang-orang sebelum mereka. Ironisnya, semua ini terjadi dengan sepengetahuan ulama mereka. Semoga Allah menganugerahkan petunjuk-Nya.


“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Uzair itu putera Allah’ dan orang-orang Nasrani berkata, ‘Al masih itu putera Allah.’ Demikianlah itu ucapan mereka dengan mulut mereka, mereka meniru perkataan orang-orang kafir yang terdahulu. Dilaknati Allah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling?”
(Q.S. al-Tawbah [9]: 30)

          Allah melenyapkan siapa saja yang menyekutukan-Nya atau bertawassul dengan selain-Nya. Ibn Taymiyah berkata, ”Sesungguhnya para rasul adalah perantara hidayah dan penyampai risalah dari Allah kepada kita, bukan perantara dalam beribadah antara kita dengan Allah.”

          Jadi, orang yang bertawassul, meminta syafaat kepada mayat yang sudah dikebumikan, sebetulnya sedang melakukan aktivitas yang tidak berguna. Ziarah kubur yang dianjurkan syariat ditujukan untuk mengingatkan kita akan akhirat dan memanjatkan doa memohon agar penghuninya dirahmati Allah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah.

Adab Berziarah

Di antara tata cara ziarah kubur adalah tidak duduk di atasnya. Itu dilarang Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam dalam sabdanya, ”Jangan sembah kuburan dan jangan duduk di atasnya.: beliau juga bersabda, ”Duduk di atas bara sampai pakaianku terbakar kemudian menjalar ke tubuhku masih lebih baik bagiku daripada duduk di atas kuburan.”
          Adab berziarah yang lain adalah tidak mendirikan salat wajib di atas kuburan. Yang diperbolehkan adalah salat jenazah, itu pun dengan syarat orang yang dikuburkan itu belum ia sembahyangkan dan belum berselang sebulanlamanya sejak dikuburkan. Adab yang lain adalah tidak berjalan di atas kuburan.
          Keharusan lainnya adalah merendahkan kuburan yang tinggi. ’Ali ibn Abi Thalib berkata, ”Aku diperintah Rasulullah Salallahu alaihi wa sallam untuk meratakan kuburan yang tinggi.” Maksudnya, diratakan dengan tanah. Tinggi yang wajar untuk kuburan adalah sejengkal, sekadar tanda agar diketahui. Begitulah sunahnya.***

(’Aidh ibn ’Abd Allah al-Qarni, Drama Kematian, Serambi, Jakarta)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gaza

Gaza
Siapakah bangsa yang pertama kali menghuni wilayah Palestina? Mereka adalah bangsa Kan’an. Mereka datang dari Jazirah Arab sejak 4500 tahun yang lalu. Sehingga pada awalnya Palestina disebut Negeri Kan’an. Bangsa Palestina yang ada sekarang ini adalah anak keturunan bangsa Kan’an yang sebahagiannya berasal dari keturunan bangsa Timur Laut Tengah “PLST” atau bangsa Palestina serta kabilah-kabilah Arab yang berasimilasi dengan bangsa Kan’an. Meski dari waktu ke waktu Palestina pernah diperintah oleh berbagai penguasa dari bangsa yang berbeda-beda, akan tetapi penduduk asli Palestina tetap berdomisili dan tidak pernah meninggalkan bumi Palestina. Atas kesadaran sendiri, mayoritas penduduk Palestina akhirnya memeluk Islam. Dan seiring dengan datangnya Islam ke Palestina mereka pun mulai bersentuhan dan berkomunikasi dengan bahasa Arab. Maka, jadilah Islam sebagai identitas negeri Palestina terlama sepanjang sejarah. Dimulai sejak sejak ekspansi Islam tahun 15 H/ 636 M dimasa kekhalifahan Umar bin Khattab hingga saat ini. Meski sejak tahun 1948 sebagian besar penduduknya diusir oleh penjajah Zionis. Klaim Sejarah Yang Dibuat-buat Klaim-klaim hak sejarah yahudi di Palestina bertolak belakang dengan hak bangsa Arab-Muslim Palestina. Merekalah anak keturunan bangsa Palestina yang telah memakmurkan negeri ini sejak 1500 tahun sebelum Bani Israel membangun negara mereka (Kerajaan Daud) dan ketika mereka berkuasa bahkan ketika kekuasaan Yahudi terputus hingga saat ini, bangsa Palestina tetap mendiami tanah leluhur mereka. Bani Israil hanya memerintah sebagian wilayah saja dari Palestina (dan bukan seluruhnya) selama kurang lebih empat abad lamanya ( terutama sejak 1000-586 SM. Setelah wafatnya Sulaiman as. Tahun 923 SM, kerajaan Bani Israel terpecah menjadi dua bagian: Kerajaan Israel di Utara yang jatuh tahun 722 SM ke tangan Bangsa Asyuria dan kerajaan Yehuda yang jatuh ke tangan Babilonia tahun 586 SM). Setelah itu hilanglah kekuasaan mereka, kemudian secara silih berganti Palestina diperintah oleh bangsa Asyuria, Persia, Firaun, Yunani, Romawi. Dan selama masa-masa itu bangsa Palestina tetap teguh untuk tinggal di negeri mereka, Palestina. (sumber : beritapalestina.com)

Seperti orang Islam jika mati

Seperti orang Islam jika mati
Maka orang Kristen mati ditanyai malaikat Munkar dan Nakir di kubur dengan pertanyaan: Siapa Tuhanmu? Apakah agamamu? Siapa Nabimu? Mana kiblatmu? Maka orang Kristen akan memberikan jawaban tidak sama dengan muslim. Jawabannya adalah: Tuhanku adalah Yesus. Agamaku Protestan. Nabiku Paulus. Kitab suciku Perjanjian Baru dan kiblatku kiblat papat (utara, selatan, barat dan timur). Jawaban serupa akan diberikan bagi pemeluk Katholik dengan sedikit perbedaan kitab sucinya adalah Perjanjian Lama. Malaikat Munkar dan Nakir yang ketika mendatangi muslim yang taat berwajah sebagai malaikat Kiraman dan Katibin, kali ini benar-benar Munkar dan Nakir yang berwaajah garang. Palu sebesar glugu klapa (batang kelapa) diarahkan ke kepala mayit. Hancur luluh itu kepala. “Masuklah ke dalam golongan orang-orang yang dimurkai Allah”, kata malaikat selanjutnya kepada pemeluk Kristen itu. Mayit yang dosanya tidak mendapatkan ampunan itu berada di alam barzah hingga saatnya dibangkitkan ketika hari kiamat datang.

Agama Syi'ah

Agama Syi'ah
Syi'ah Kelompok Sesat.Ulama Syi’ah Bercerita Tentang Agama Mereka (Bukti Kesesatan Agama Syi’ah dari Sumber Rujukan Mereka) Termasuk kewajiban yang paling wajib adalah menjaga agama dan keyakinan kaum muslimin terhadap penyimpangan dan kerusakan, serta menerangkan jalan kerusakan agar kaum muslimin tidak terjatuh ke dalam kerusakan tersebut. Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu ‘anhuma berkata, كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي “Manusia bertanya kepada Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan saya bertanya kepada beliau tentang kejelekan (karena) khawatir bila kejelekan itu akan menimpaku ….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhâry dan Muslim] Di antara ancaman yang sangat besar terhadap aqidah kaum muslimin adalah agama kaum Syi’ah Rafidhah, suatu agama yang merusak dan meruntuhkan nilai-nilai keyakinan umat Islam. Ironisnya, agama Syi’ah ini didukung oleh beberapa negara dan dipersiapkan guna menyebar racun mereka di seluruh negeri kaum muslimin. Bila merasa kuat pada suatu negeri, Kaum Syi’ah akan berbuat kezhaliman dan kesewenang-wenangan, seperti ulah mereka di Iran, Suriah, Bahrain, dan selainnya. Bila merasa lemah, mereka akan tampil dengan “pakaian” pendekatan dan persahabatan, atau sengaja memancing kemarahan kaum muslimin dengan mencela agama kaum muslimin sehingga sebagian kaum muslimin lepas kontrol. Bila kejadian yang mereka inginkan telah terjadi, mereka pun berdiri di belakang media massa agar ditampilkan sebagai orang-orang yang “dizhalimi” supaya mendapat belas kasih dan kesempatan untuk bercerita tentang keyakinan mereka. Berikut beberapa pembahasan ringkas tentang kesesatan dan penyimpangan agama Syi’ah. Kami menerangkan kesesatan agama mereka dari “mulut” mereka sendiri yang menumpahkan keyakinan mereka dalam buku-buku mereka sendiri. Definisi Syi’ah Syaikh kelompok Syi’ah, Muhammad bin Muhammd bin An-Nu’man, yang bergelarAl-Mufîd, berkata, “Syi’ah adalah para pengikut amirul mukminin Ali shalawatullâhi ‘alaihi di atas jalan loyalitas, meyakini keimaman (Ali) setelah Rasul shalawatullâhi ‘alaihi wa âlihi tanpa terputus, menafikan keimaman siapa saja yang telah mendahului (Ali) dalam khilafah, serta menjadikan (Ali) sebagai yang diikuti dalam keyakinan, bukan mengikut kepada salah seorang di antara mereka di atas jalan kesetiaan.” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 38] Syaikh mereka yang lain, Sa’d bin ‘Abdillah Al-Qummy, mendefinisikan, “Syi’ah adalah golongan Ali bin Abi Thalib yang dinamakan Syi’ah Ali pada masa Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan masa setelahnya. Mereka dikenal dengan loyalitas kepada Ali dan menyatakan keimaman (Ali).” [Al-Maqâlât Wal Firâqhal. 15] Dalam agama Syi’ah, banyak kelompok dan aliran. Hanya, pada masa ini, penggunaan kata syi’ah tertuju kepada penganut terbanyak agama Syi’ah: Syi’ah Itsnâ Asyariyyah. Demikian keterangan salah seorang rujukan mereka, Husain An-Nury Ath-Thabarsy, dalam kitabnya, Mustadrak Al-Wasâ`il 3/311. Siapakah 12 Imam Kaum Syi’ah? Mereka disebut Syi’ah Itsnâ Asyariyyah karena meyakini keimaman 12 imam Ahlul Bait. 12 imam tersebut adalah [1] Abul Hasan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu(Lahir 23 tahun sebelum hijrah dan mati syahid pada 40 H), digelari Al-Murtadhâ; dan dua putra beliau, [2] Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (2 H-50 H), digelari Al-Mujtabâ/Az-Zaky; [3] Abu Abdillah Al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma (3 H-61 H), digelar Asy-Syahid. Delapan Imam lain adalah dari keturunan Al-Husain radhiyallahu ‘anhu secara berurut. Kunyah, nama, dan gelar mereka terhitung dari bawah, yaitu [11] Abu Muhammad Al-Hasan Al-‘Askar (232 H-260 H) bin [10] Abul Hasan Ali Al-Hâdy (212 H-254 H) bin [9] Abu Ja’far Muhammad Al-Jawwâd (195 H-220 H) bin [8] Abul Hasan Ali Ar-Ridhâ (148 H-203 H) bin [7] Abu Ibrahim Musa Al-Kâzhim (128 H-183 H) bin [6] Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq (83 H-148 H) bin [5] Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir (57 H-114 H) bin [4] Abu Muhammad Ali As-Sajjâd/Zainul ‘Âbidîn (38 H-95 H) bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thâlib -semoga Allah meridhai dan merahmati mereka seluruhnya-. Adapun imam ke-12, mereka sebut berkunyah Abul Qâsim bernama Muhammad serta bergelar Al-Mahdi, Al-Qâ`im, Al-Hujjah, dan Al-Muntazhar. Akan datang penjelasan tentang Imam Mahdi kaum Syi’ah. Asal Muasal Agama Syi’ah Pendiri agama Syi’ah adalah Abdullah bin Saba`, seorang Yahudi yang pura-pura memeluk Islam. Dialah yang memunculkan aqidah keimaman Ali radhiyallahu ‘anhu, yang merupakan pokok keyakinan kaum Syi’ah. Hal ini diakui oleh orang-orang Syi’ah dalam belasan buku rujukan mereka. [Bacalah kitab Ibnu Saba’ Haqiqah La Khayâl karya Dr. Su’dâ Al-Hâsyimy] Seorang tokoh mereka, Al-Hasan An-Nûbakhty, menjelaskan, “As-Saba`iyyah adalah mereka yang berkata tentang keimaman Ali ‘alaihis salam, sedang keimaman adalah kewajiban dari Allah Azza wa Jalla. Mereka adalah pengikut Abdullah bin Saba`. (Abdullah bin Saba`) tergolong orang yang menampakkan celaan terhadap Abu Bakr, Umar, Utsman, dan para shahabat, serta berlepas diri dari (para shahabat) tersebut …. Sejumlah ulama menghikayatkan bahwa, dahulu, Abdullah bin Saba` adalah seorang Yahudi, lalu memeluk Islam dan berloyalitas kepada Ali ‘alaihis salam.” [Firâq Asy-Syî’ah hal. 32] Pokok-Pokok Kesesatan Agama Syi’ah Berbicara tentang kesesatan agama Syi’ah adalah suatu hal yang sangat panjang. Berikut beberapa simpulan ringkas tentang agama Syi’ah dari buku-buku mereka sendiri. 1. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Keimaman Para Imam Ahlul Bait Keyakinan kaum Syi’ah tentang keimaman 12 imam Ahlul Bait mengandung kekafiran yang sangat nyata. Di antara keyakinan tersebut adalah bahwa keimaman Ahlul Bait lebih tinggi daripada derajat kenabian. Salah seorang tokoh mereka, Muhammad Ridha Al-Muzhaffar, berkata, “Kami meyakini bahwa keimaman adalah seperti kenabian, yang tidaklah terjadi, kecuali berdasarkan nash dari Allah Ta’âlâ melalui lisan Rasul-Nya atau melalui lisan Imam yang telah ditetapkan secara nash apabila dia ingin menetapkan imam setelahnya. Hukum keimaman dalam hal tersebut adalah hukum kenabian tanpa perbedaan.” [‘Aqâ`id Al-Imâmiyah hal. 103] Imam Kaum Syi’ah, Zainuddin Al-Bayâdhy, berkata, “Kebanyakan guru kami lebih mengutamakan (Ali) di atas Ulul ‘Azmi karena keumuman kepemimpinan (Ali), dan seluruh penduduk dunia mengambil manfaat pada kekhalifahan (Ali).” [Ash-Shirâthul Mustaqîm ‘Alâ Mustahiqqî At-Taqdîm 1/210] Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Keimaman umum adalah lebih tinggi daripada derajat kenabian dan kerasulan.” [Zahrur Rabî’ hal. 12] Bahkan, kaum Syi’ah menganggap bahwa keutamaan para nabi bersumber dari kecintaan para nabi kepada para imam Ahlul Bait. Tokoh mereka, Muhammad Bâqir Al-Majlisy, dalam kitabnya, Bihârul Anwâril Jâmi’ah Li Akhbâril A`immatil Ath-hâr 26/267, menyebut bab khusus dengan judul bab “Keutamaan (Para Imam Ahlul Bait) ‘alaihimus salam terhadap Para Nabi dan Seluruh Makhluk; Pengambilan Janji terhadap Para Nabi, Para Malaikat, dan Seluruh Makhluk Tentang Mereka; serta Bahwa Ulul ‘Azmi Ada sebagai Ulul ‘Azmi karena Kecintaan kepada (Para Imam Ahlul Bait) Shalawatullâhi ‘Alaihim.” Siapa saja yang mengingkari keimaman Ahlul Bait adalah kafir di kalangan penganut agama Syi’ah. Sumber riwayat mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulîny, meriwayatkan dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya-, bahwa Ja’far berkata, “(Ada) tiga orang yang Allah tidak melihat kepada mereka pada hari Kiamat, tidak menyucikan mereka, dan siksaan pedih untuk mereka: (1) Orang yang mengakui suatu keimaman dari Allah yang bukan miliknya, (2) orang yang mengingkari seorang imam dari Allah, dan (3) Orang yang menyangka bahwa kedua (jenis orang) tersebut memiliki bagian dalam keislaman.” [Ushûlul Kâfy 1/434, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, cet. Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Dalam Amaly Ash-Shadûq, disebutkan riwayat dari Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi bahwa, “Siapa saja yang mengingkari keimaman Ali setelahku, dia telah mengingkari kenabian pada kehidupanku, sedang siapa saja yang mengingkari kenabianku, dia telah mengingkari rubûbiyah Rabb-nya ‘Azza wa Jalla.” [Al-Amalyhal. 308, Bihârul Anwâr 34/109] Bahkan, mereka menganggap bahwa para nabi menegakkan seluruh risalah kenabian, dan risalah itu akan disempurnakan oleh imam kaum Syi’ah yang muncul pada akhir zaman. Tokoh mereka pada masa ini, Al-Khumainy, berkata, “Setiap nabi dari para nabi hanyalah datang untuk menegakkan keadilan, dan tujuannya adalah untuk menerapkan (keadilan) di alam, tetapi beliau tidaklah berhasil. Hingga, penutup para nabi, yang datang untuk memperbaiki dan mengatur manusia serta menerapkan keadilan, sesungguhnya juga tidak mendapat taufiq. Sesungguhnya, yang akan berhasil dengan segala makna kalimat (keberhasilan) dan menerapkan keadilan di seluruh penjuru dunia adalah Al-Mahdi yang ditunggu.” [Mukhtârât min Ahâdîts wa Khithâbât Al-Khumainy 2/42] Tidak seorang muslim pun yang meragukan kekafiran ucapan di atas, yang bertentangan dengan ayat-ayat Allah Ta’âlâ dan keyakinan yang dimaklumi dan disepakati oleh seluruh kaum muslimin. Allah Subhânahû wa Ta’âla telah berfirman, يُرِيدُونَ أَنْ يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَنْ يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ. هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ “Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, tetapi Allah tidaklah menghendaki, kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Qur`an) dan agama yang benar untuk Dia menangkan (agama) itu atas segala agama, walau orang-orang musyrik tidak menyukai.” [At-Taubah: 32-33] 2. Keyakinan Kaum Syi’ah tentang Kedudukan Para Imam Ahlul Bait Kaum Syi’ah meyakini bahwa para imam mereka mengetahui perkara ghaib. Dalam Ushûlul Kâfy karya ahli hadits mereka, Al-Kulîny, terdapat sejumlah riwayat dari para imam Ahlul Bait -semoga Allah merahmati mereka- tentang pengetahuan para imam akan ilmu ghaib. Riwayat-riwayat tersebut terangkai dalam sejumlah bab pembahasan, di antaranya adalah bab “Para Imam ‘alaihimus salamMengetahui Hal yang Telah Terjadi dan Hal yang Akan Terjadi, serta Tiada Suatu Apapun yang Tersembunyi terhadap Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/316], bab “Para Imam Mengetahui Waktu Meninggal Mereka, dan Mereka Tidak Meninggal, kecuali dengan Pilihan Mereka” [Ushûlul Kâfy 1/313], dan bab “Para Imam ‘alaihimus salamMengetahui Seluruh Ilmu yang Keluar kepada Malaikat, Para Nabi, dan Para Rasul ‘alaihimus salam” [Ushûlul Kâfy 1/310]. Mereka juga meyakini bahwa ucapan para imam mereka adalah firman Allah. Dalam Ushûlul Kâfy, disebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Ucapanku adalah ucapan ayahku. Ucapan ayahku adalah ucapan kakekku. Ucapan kakekku adalah ucapan Al-Husain. Ucapan Al-Husain adalah ucapan Al-Hasan. Ucapan Al-Hasan adalah ucapan (Ali) Amirul Mukminin (A). Ucapan Amirul Mukminin adalah hadits Rasulullah (shâ). Hadits Rasulullah adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla.” [Ushûlul Kâfy 1/105] Dalam syarah kitab Ushûlul Kâfy, Muhammad Shalih Al-Mâzandarâny berkata, “Sesungguhnya hadits dari setiap imam yang tampak adalah firman Allah ‘Azza wa Jalla. Tiada perbedaan dalam ucapan-ucapan para imam sebagaimana tiada perbedaan dalam firman Allah Ta’âlâ.” [Syarh Jâmi’ ‘Alâ Ushûlil Kâfy 2/272] Sikap ekstrem dan berlebihan di atas adalah kekafiran yang sangat jelas pada kelompok Syi’ah. Siapa saja yang menganggap bahwa ada yang mengetahui hal ghaib dari makhluk adalah kafir menurut Al-Qur`an, Sunnah, dan kesepakatan kaum muslimin. 3. Aqidah Raj’ah Kaum Syi’ah Al-Ahsâ`iy dalam kalangan Syi’ah memberi definisi, “Ketahuilah bahwa raj’ahadalah rahasia dari rahasia Allah. Berpendapat dengan (raj’ah) adalah buah keimanan kepada hal ghaib. Maksud (raj’ah) adalah kembalinya para imam ‘alaihimus salam dan syi’ah-nya serta musuh-musuh mereka dari yang keimanannya telah dimurnikan atau kekafirannya dari dua golongan, dan bukan tergolong orang-orang yang telah Allah binasakan di dunia dengan suatu siksaan. Apabila telah dibinasakan dengan suatu siksaan, mereka tidak akan kembali.” [Kitâbur Raj’ah hal. 11] Al-Majlisy menerangkan aqidah mereka, “Sungguh jiwa-jiwa yang telah pergi akan kembali dan akan melaksanakan qishash pada hari kebangkitan mereka. Siapa saja yang disiksa akan mengambil qishash dengan menyiksa (orang yang menyiksa)nya. Siapa saja yang dibuat marah akan melampiaskan kemarahannya. Siapa saja yang dibunuh akan mengambil qishash dengan membunuh (orang yang membunuh)nya, sedang musuh-musuh mereka akan dikembalikan bersama mereka sehingga mereka melampiaskan kemarahannya. Lalu, mereka dihidupkan selama tiga puluh bulan setelah (musuh) itu (dimatikan), kemudian meninggal dalam satu malam dalam keadaan telah melampiaskan kemarahan mereka dan memuaskan diri-diri mereka, sedangkan musuh-musuh mereka telah menuju siksaan neraka yang paling pedih. Selanjutnya, mereka berdiri di depan (Allah) Al-Jabbâr ‘Azza wa Jalla lalu (Allah) memberikan hak-hak mereka untuk mereka.” [Bihârul Anwâr 53/44] Menurut Syi’ah, musuh pertama yang akan dibangkitkan adalah Abu Bakr, Umar, dan Utsman. [Bihârul Anwâr 98/293] Mereka juga menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far bin Muhammad Ash-Shâdiq -semoga Allah merahmatinya- dalam menafsirkan firman Allah, “Oleh karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu, yaitu beri tangguhlah mereka sekadar sebentar.” [Ath-Thâriq: 17], bahwa Ja’far berkata, “Beri tangguhlah orang-orang kafir itu, wahai Muhammad, yaitu beri tangguhlah mereka itu sekadar sebentar untuk waktu kebangkitan Al-Qâ`im (Mahdi) ‘alaihis salam sehingga (Al-Qâ`im) membalas dendam untukku terhadap orang-orang yang bersombong serta para thaghut dari Quraisy, Bani Umayyah, dan seluruh manusia.” [Tafsîr Al-Qummi2/416] Aqidah kaum Syi’ah di atas adalah kekafiran nyata yang para ulama sepakati. Allah‘Azza wa Jalla telah menerangkan bahwa hanya ada alam kubur dan hari kiamat, حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ “(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu) hingga, apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata, ‘Wahai Rabb-ku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amalan shalih terhadap (amalan) yang telah kutinggalkan.’ Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang sekadar dia ucapkan. Sedang, di hadapan mereka, ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan.” [Al-Mu`minûn: 99-100] Allah ‘Azza wa Jalla juga menerangkan bahwa setelah kematian adalah kembali kepada-Nya, كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Lalu, hanya kepada Kamilah kalian dikembalikan.” [Al-‘Ankabût: 57] 4. Aqidah Al-Badâ` dalam Agama Syi’ah Dalam bahasa Arab, kata al-badâ` digunakan dalam dua makna: penampakan sesuatu yang sebelumnya tersembunyi dan kemunculan pendapat baru. Dalam riwayat-riwayat kaum Syi’ah disebutkan, “Tidaklah Allah diibadahi dengan sesuatu apapun yang semisal Al-Badâ`,”, “Tidaklah Allah diagungkan dengan sesuatu yang semisal Al-Badâ`.” [Ushûlul Kâfy 1/197], dan “Andaikata mengetahui pahala keyakinan tentang Al-Badâ`, manusia tidak akan bosan berbicara tentang (Al-Badâ`) itu.” [Ushûlul Kâfy 1/199] Dari Abu Hamzah Ats-Tsumâly, beliau berkata: Saya mendengar Abu Ja’far (Muhammad Al-Bâqir) ‘alaihis salam berkata, “Wahai Tsabit, sesungguhnya AllahTabâraka wa Ta’âlâ pernah menentukan perkara ini pada tahun 70. Tatkala Al-Husain shalawatullâhi ‘alaihi terbunuh, kemurkaan Allah terhadap penduduk bumi menjadi sangat besar sehingga Allah mengakhirkan (penentuan) itu hingga tahun 140. Kami telah menceritakan kepada kalian, dan kalian telah mendengarkannya kemudian menyingkap tirai penutup, sedang setelah itu Allah tidak menetapkan waktu tertentu di sisi kami. Allah menghapus yang Dia kehendaki dan menetapkan (yang Dia kehendaki), serta di sisi-Nya ada Ummul Kitab.” [Ushûlul Kâfy 1/429, Al-Ghâ`ibah karya Ath-Thûsy hal. 263 dan Bihârul Anwâr 52/105] Keyakinan kaum Syi’ah di atas disebut dalam banyak buku mereka dan diakui oleh ulama mereka. Tentu dimaklumi oleh seorang muslim bahwa keyakinan tersebut adalah kekafiran yang jelas karena mengharuskan kejahilan dan ketidaktahuan Allah terhadap hal yang akan terjadi. 5. Keyakinan Taqiyyah dalam Agama Syiah Dalam mendefinisikan taqiyyah, Al-Mufîd berkata, “Taqiyyah adalah menyembunyikan kebenaran dan menutupi keyakinan, serta menutupi (keyakinan) dari orang-orang yang menyelisihi dan tidak terang-terangan kepada mereka dalam hal yang mengakibatkan bahaya dalam agama atau dunia.” [Tash-hîhul I’tiqâd hal. 115] Al-Khumainy berkata, “Makna taqiyyah adalah seorang manusia mengatakan suatu ucapan yang berseberangan dengan kenyataan, atau mendatangkan amalan yang bertentangan dengan timbangan-timbangan syariat. Hal tersebut untuk menjaga darah, kehormatan, atau harta.” [Kasyful Asrâr hal 147] Keyakinan ini adalah suatu ibadah yang sangat agung di kalangan orang-orang Syi’ah. Dalam riwayat mereka, disebutkan dari Abu Umar Al-A’jamy bahwa dia berkata: Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata kepadaku, “Wahai Abu Umar, sesungguhnya sembilan dari sepuluh bagian agama adalah taqiyyah, dan tiada agama bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah ….” [Ushûlul Kâfy 2/133, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Juga dari Sulaiman bin Khalid, dia berkata bahwa Abu Abdillah (yakni Ja’far Ash-Shâdiq) berkata, “Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas suatu agama. Siapa saja yang menyembunyikan (agama) itu, Allah akan memuliakannya. (Namun), siapa saja yang menyebarkan (agama) itu, Allah akan menghinakannya.” [Ushûlul Kâfy 2/136, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Bahkan, mereka berdusta dengan menisbatkan kepada Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bahwa “Orang yang meninggalkan taqiyyah adalah seperti orang yang meninggalkan shalat.” [Jâmi’ul Akhbâr karya Ibnu Bâbawaih Ash-Shaqûq hal. 110 dan Bihârul Anwâr 74/412 karya Al-Majlisy] Keyakinan batil kaum Syi’ah ini menutupi segala kedustaan dan kontradiksi mereka. Sehingga, bila ditanyakan kepada mereka, “Mengapa Ali z membait Abu Bakr, Umar, dan Utsman?” Mereka akan menganggap bahwa hal tersebut adalahtaqiyyah, “Mengapa banyak kontradiksi ditemukan dalam buku-buku Syi’ah?” Mereka akan menjawab, “Itu taqiyyah.” An-Nubakhty menukil dari Sulaiman bin Jarir bahwa Sulaiman berkata, “Sesungguhnya, untuk syi’ah mereka, para imam Rafidhah meletakkan dua keyakinan yang, dengan (dua hal) itu, tidak akan tampak suatu kedustaan apapun dari para imam mereka. Dua keyakinan itu adalah keyakinan al-badâ` dan pembolehan taqiyyah. Adapun al-badâ`, itu karena para imam di tengah Syi’ah mereka menduduki kedudukan para nabi di tengah rakyat dalam keilmuan pada hal yang telah terjadi dan yang akan terjadi. Apabila sesuatu yang mereka katakan terjadi, mereka berkata, ‘Bukankah kami telah memberitahu kalian bahwa hal ini akan terjadi? Dari Allah, kami mengetahui hal yang para nabi ketahui. Antara kami dan Allah terdapat sebab-sebab yang para nabi mengetahui hal yang mereka ketahui.’ Kalau sesuatu yang mereka katakan akan terjadi itu tidak terjadi, mereka berkata, ‘Telah terjadi al-badâ` pada Allah dalam hal tersebut.’.” [Firaq Asy-Syi’ahhal. 64-65] Bahkan maksud utama keyakinan taqiyyah ini adalah untuk mengeluarkan dan menjauhkan Syi’ah dari keislaman. Mereka menyebut riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa beliau berkata, “Hal-hal yang kalian dengar dariku yang menyerupai ucapan manusia (yaitu kaum muslimin), padanya ada taqiyyah. (Sedangkan), hal-hal yang engkau dengar dariku yang tidak menyerupai ucapan manusia, tiada taqiyyah di dalamnya.” [Bihârul Anwâr 2/252] 6. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Al-Qur`an Banyak kekafiran kaum Syi’ah dalam keyakinan mereka tentang Al-Qur`an. Seorang muslim yang mengetahuinya pasti dadanya akan sesak dengan ucapan-ucapan mereka. Di antara keyakinan mereka adalah bahwa Al-Qur`an, yang berada di tangan kaum muslimin, telah berkurang dan telah diubah atau diganti. Dalam riwayat Al-Kulîny dengan sanadnya dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq disebutkan, “Sesungguhnya Al-Qur`an yang Jibril bawa kepada Muhammadshallallâhu ‘alaihi wa âlihi adalah sebanyak tujuh belas ribu ayat.” [Ushûlul Kâfy2/350, Mansyurât Al-Fajr, Beirut, Lebanon, cet. ke-1 2007 M/1428 H] Dalam riwayat lain, “… Mushaf Fatimah adalah seperti Al-Qur`an kalian ini (sebanyak) tiga kali lipat. Demi Allah, di dalamnya tiada satu huruf pun dari Al-Qur`an kalian ….” [Ushûlul Kâfy 1/295, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Muhsin Al-Kâsyâny, seorang ahli tafsir mereka, berkata, “Faedah yang terpetik dari riwayat-riwayat melalui jalur Ahlul Bait ‘alaihimus salam adalah bahwa Al-Qur`an yang berada di tengah kita tidaklah sempurna sebagaimana yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi wa sallam. Bahkan, dalam (Al-Qur`an) itu, ada yang menyelisihi (firman) yang Allah turunkan, ada pula yang telah berubah lagi terganti dalam (Al-Qur`an). Juga sesungguhnya banyak hal telah dibuang dari (Al-Qur`an), di antaranya adalah nama Ali pada banyak tempat. Selain itu, Al-Qur`an juga tidak berada di atas susunan yang diridhai di sisi Allah dan di sisi rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam.” [Tafsîrush Shâfy 1/49] Syaikh kaum Syi’ah, Al-Mufîd, berkata, “Sesungguhnya kabar-kabar yang datang sangatlah banyak, dari para imam petunjuk dari keluarga Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, tentang pertentangan Al-Qur`an dan apa-apa yang orang-orang zhalim adakan berupa penghapusan dan pengurangan di dalamnya ….” [Awâ`ilul Maqâlât hal. 8] Ucapan ulama Syi’ah dari dahulu hingga belakangan menunjukkan aqidah ini, bahkan Syaikh kaum Syi’ah, An-Nûry Ath-Thabarsy, memiliki buku khusus yang berjudul Fashlul Khithâb Fî Itsbati Tahrîf Kalâmi Rabbil Arbab (Kata Pemutus tentang Penetapan Terjadinya Perubahan pada [Al-Qur`an] Kalam Rabbil Arbâb). Kalau ada dari kalangan Syi’ah yang mengingkari perubahan dan pergantian Al-Qur`an, hal tersebut hanya berasal dari aqidah taqiyyah mereka. Pegangan dan kumpulan dari Al-Qur`an, dengan berbagai riwayat dari masa para shahabat hingga hari ini, semuanya tidak berlaku di kalangan Syi’ah. Ahli hadits terpercaya kaum Syi’ah, Al-Kulîny, menyebutkan bab “Tiada yang Mengumpul Seluruh Al-Qur`an, Kecuali Para Imam (A), Sedang Mereka Mengetahui Seluruh Ilmu (Al-Qur`an)”, kemudian membawakan riwayat dengan sanadnya dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa Abu Ja’far berkata, “Tiada seorang pun dari manusia yang mengaku mengumpulkan seluruh Al-Qur`an sebagaimana yang diturunkan, kecuali seorang pendusta. Tiada yang mengumpul dan menghafal (Al-Qur`an) sebagaimana yang Allah Ta’âlâ turunkan, kecuali Ali bin Abi Thalib (‘A) dan para imam setelahnya (‘A).” [Ushûlul Kâfy 1/284, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Dalam sifat Imam Mahdi kaum Syi’ah, mereka menyebutkan bahwa Imam Mahdi akan keluar dengan membawa kitab baru. Mereka menyebutkan, “Telah mutawatir dari para imam yang suci shalawâtullâhi ‘alaihim bahwa imam zaman serta utusan masa dan waktu shalawâtullâhi wa salâmuhu ‘alaihi akan datang dengan kitab baru, sangat keras terhadap orang-orang Arab, dan kebanyakan tentara-tentaranya adalah anak-anak ajam (bukan Arab).” [Al-Fawâ`idul Madaniyyah Wasy Syawâhidul Makkiyyah hal. 532-533, Muhammad Amin dan Nûruddîn Al-‘Âmily] Maha Suci Allah dari kekafiran kaum Syi’ah. Allah telah berfirman, إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءَهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ. لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيلٌ مِنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ “Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap Al-Qur`an, ketika (Al-Qur`an) itu datang kepada mereka, (pasti akan celaka), dan sesungguhnya (Al-Qur`an) itu adalah kitab mulia. Tiada kebatilan yang datang pada (Al-Qur`an), baik dari depan maupun dari belakangnya, diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.” [Fushshilat: 41-42] 7. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam Dalam keyakinan kaum Syi’ah, seluruh hadits yang tidak berasal dari jalur Ahlul Bait tidaklah diterima. Salah satu rujukan mereka, Muhammad Husain Âlu Kâsyifil Ghithâ, berkata, “Sesungguhnya Syi’ah tidak menganggap (sesuatu) sebagai sunnah, kecuali hal-hal yang telah shahih untuk mereka melalui jalur-jalur Ahlul Bait …. Adapun riwayat Abu Hurairah, Samurah bin Jundub, ‘Amr bin ‘Âsh, dan semisalnya, itu tidaklah bernilai (semisal) seekor lalat di kalangan orang-orang Syi’ah Imamiyyah. [Ashlush Syi’ah wa Ushûluhu hal. 79] Asy-Syâhid Nûrullâhi At-Tastury berkata, “… (Hal itu) karena Al-Bukhâry, Muslim, dan semisalnya adalah para pemalsu hadits lagi para pendusta di kalangan Syi’ah. Bahkan, karena banyak alasan, mereka menetapkan kedunguan dan pendeknya pemahaman Al-Bukhâry perihal membedakan antara (hadits) shahih dan dha’if.” [Ash-Shawârimul Muhriqah hal. 57] Terlebih lagi, menurut mereka, orang yang mengambil riwayat dari selain Ahlul Bait adalah musyrik. Dalam sebuah riwayat dalam buku terpercaya mereka, disebutkan bahwa Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq menyatakan, “… Dan siapa saja yang mengaku mendengar dari selain pintu yang Allah buka untuknya, dia adalah musyrik ….” [Ushûlul Kâfy 1/439, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Juga, salah satu bab Ushûlul Kâfy 1/464 berjudul “Sesunggunya Tiada Suatu Kebenaran di Tangan Manusia, Kecuali dari Apa-Apa yang Keluar dari Sisi Para Imam (‘A), Sedang Segala Sesuatu yang Tidak Keluar dari Sisi Mereka adalah Batil.” Bila keyakinan kaum Syi’ah terhadap hadits-hadits Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang berada di tangan kaum muslimin sudah sedemikian rupa, berarti kaum Syi’ah telah menolak agama Islam ini dan mendustakan sumber kedua yang menjadi rujukan kaum muslimin. Allah telah berfirman, وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا “Segala sesuatu yang Rasul datangkan kepada kalian, terimalah, sedang segala sesuatu yang dia larang terhadap kalian, tinggalkanlah.” [Al-Hasyr: 7] 8. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Para Shahabat Dalam buku-buku mereka, terdapat riwayat dari Abu Ja’far Muhammad Al-Bâqir bahwa beliau berkata, “Manusia adalah murtad setelah Nabi shallallâhu ‘alaihi wa âlihi, kecuali tiga orang. Saya (perawi) bertanya, ‘Siapakan ketiga orang itu?’ Beliau menjawab, ‘Al-Miqdâd, Abu Dzarr, dan Salman Al-Fârisy.’ ….” [Raudhatul Kâfy 8/198, tahqiq Muhammad Ja’far Syamsuddin, terbitan Dârut Ta’âruf, Beirut, Lebanon, 1990 M/1411 H] Mereka meriwayatkan pula dari Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib radhiyallâhu ‘anhubahwa beliau berkata kepada Qunbur, “Wahai Qunbur, bergembiralah dan berilah kabar gembira, serta selalulah merasa gembira. Sungguh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa âlihi meninggal, sedang beliau murka terhadap umatnya, kecuali Syi’ah.” [Al-Amâly karya Ash-Shadûq hal 726] Al-Majlisy berkata, “Sesungguhnya, tergolong sebagai keharusan aksioma agama Imamiyah: penghalalan mut’ah, haji Tamattu’, serta berlepas diri dari Abu Bakr, Umar, Utsman, dan Mu’âwiyah.” [Al-I’tiqâdât karya Al-Majlisy hal. 90-91] Ucapan-ucapan keji kaum Syi’ah terhadap para shahabat dan istri-istri Nabishallallâhu ‘alaihi wa sallam dalam hal ini sangatlah banyak. Seluruh hal tersebut adalah pengingkaran terhadap Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam yang memuji dan menyanjung para shahabat radhiyallâhu ‘anhum. Allah ‘Azza wa Jalla telah menyifatkan orang yang jengkel terhadap para shahabat sebagai orang kafir dalam firman-Nya setelah menyebutkan sifat para shahabat dalam Taurat dan Injil, لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ “… Karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir.” [Al-Fath: 29] 9. Kesyirikan di Kalangan Kaum Syi’ah Muhammad bin Ali Ash-Shadûq membawakan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shadiq bahwa Ja’far berkata, “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla memiliki makhluk dari rahmat-Nya. Allah menciptakan mereka dari cahaya-Nya dan (menciptakan) rahmat-Nya dari rahmat-Nya untuk rahmat-Nya. Mereka adalah mata Allah yang melihat, telinga-Nya yang mendengar, dan lisan-Nya yang berbicara di tengah makhluk-Nya dengan seizin-Nya, serta para kepercayaan-Nya terhadap apa-apa yang (Allah) turunkan berupa udzur, nadzar, dan hujjah. Dengan mereka, (Allah) menghapus dosa-dosa, menolak kesedihan, menurunkan rahmat, menghidupkan yang mati, dan mematikan yang hidup. Dengan mereka, (Allah) menguji makhluk-Nya dan menetapkan putusan-Nya di tengah makhluk-Nya.” Perawi bertanya, “Semoga Allah menjadikanku sebagai penebusmu. Siapakah mereka itu?” Beliau menjawab, “Orang-orang yang mendapat wasiat.” [At-Tauhîd karya Ash-Shâduq hal. 167, cet. Dârul Ma’rifah, Beirut] Dalam Mustadrak Al-Wasâ`il, Ath-Thabarsy membuat bab berjudul “Kebolehan Thawaf di Kuburan”. Dalam Amâly Ath-Thûsy, Muhammad bin Hasan Ath-Thûsy menyebutkan riwayat dari Abu Abdillah Ja’far Ash-Shâdiq bahwa Ja’far berkata, “Sesunggunya AllahTa’âlâ telah menjadikan tanah kakekku, Husain ‘alaihis salam, sebagai penyembuh untuk segala penyakit dan pengaman dari segala kekhawatiran. Apabila salah seorang dari kalian mengambil (tanah) itu, hendaknya dia mencium dan meletakkan (tanah) itu pada kedua matanya lalu melewatkan (tanah) itu pada seluruh jasadnya. Hendaknya dia berkata, ‘Ya Allah, dengan hak tanah ini dan hak orang yang menyatu dan tertanam di dalam (tanah) ini, dengan hak ayahnya, ibunya, saudaranya, dan para imam dari keturunannya, dan dengan hak para malaikat yang mengitarinya, pasti Engkau menjadikan (tanah) ini sebagai obat untuk segala penyakit, penyembuh untuk segala penyakit, keselamatan dari segala bahaya, dan pelindung dari segala yang aku khawatirkan, serta aku berhati-hati terhadap (tanah) ini.’ Lalu, dia menggunakan tanah tersebut.” [Amâly Ath-Thabarsy, Mu`assasah Al-Wafâ`, Beirut, cet ke-2, 1401 H] Banyak sekali bentuk kesyirikan kaum Syi’ah yang tidak bisa kami detailkan dalam tulisan ringkas ini, seperti (1) menjadikan para imam mereka sebagai perantara antara makhluk dan Allah; (2) Beristighatsah kepada Allah dengan menyebut imam-imam mereka; (3) Kewajiban ziarah ke kubur Al-Husain dan kekafiran orang yang meninggalkan kewajiban ini; (4) Kebolehan melaksanakan thawaf, shalat dan bersungkur di kuburan; serta kesyirikan lain. Kesyirikan kaum Syi’ah meliputi segala hal: dalam Rubûbiyyah, Ulûhiyyah dan Al-Asmâ` wa Ash-Shifât. 10. Sikap Kaum Syi’ah terhadap Kaum Muslimin Syaikh Kaum Syi’ah, Nikmatullah Al-Jazâ`iry, berkata, “Kami tidaklah bersepakat dengan mereka (kaum muslimin) pada ilah (sembahan). Tidak pada nabi, tidak pula pada imam. Hal tersebut adalah karena mereka (kaum muslimin) berkata bahwa Rabb mereka adalah Rabb Yang Muhammad adalah nabi-Nya dan khalifah-Nya setelah Nabi-Nya adalah Abu Bakr. Kami tidak berkata dengan Rabb ini tidak pula dengan nabi tersebut. Namun, kami berkata bahwa Rabb yang khalifah Nabi-Nya adalah Abu Bakr bukanlah Rabb kami, dan nabi itu bukanlah nabi kami.” [Al-Anwârun Nu’mâniyyah 2/278, cet. Al-A’lamy Lil Mathbû’ât, Beirut, 1404 H] Muhaqqiq mereka, Yusuf Al-Bahrany, menyebutkan kekafiran kaum muslimin di kalangan orang-orang Syi’ah dalam ucapannya, “Tahqiq yang diambil dari kabar-kabar Ahlul Bait ‘alaihimus salam -sebagaimana penjelasan kami, yang tidak memerlukan tambahan, dalam kitab Asy-Syihâbuts Tsâqib- bahwa seluruh orang yang menyelisihi lagi mengetahui keimaman dan mengingkari keyakinan (keimaman) adalah para nawâshib[1], orang-orang kafir, dan orang-orang musyrik yang tidak memiliki jatah dan bagian dalam keislaman tidak pula dalam hukum-hukum (Islam) ….” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 14/159] Mereka juga menghalalkan darah dan harta kaum muslimin serta menganggap bahwa kaum muslimin adalah kafir dan najis sebagaimana dalam banyak buku mereka dengan berbagai riwayat. Biarlah Yusuf Al-Bahrany mewakili mereka. Dia berkata, “Tiada silang pendapat di kalangan shahabat kami dan selainnya dari yang berpendapat dengan keyakinan ini tentang kekafiran, kenajisan, serta kehalalan darah dan harta nâshib. Juga bahwa hukum terhadap (nâshib) adalah sama dengan hukum terhadap kafir harby.” [Al-Hadâ`iqun Nâdhirah 10/42] Karena kekafiran kaum muslimin itulah, dalam buku-buku mereka, terurai tentang ketidakbolehan menikahi kaum muslimin, mengerjakan shalat di belakang kaum muslimin, menshalati jenazah kaum muslimin, dan menjatuhkan hukum bahwa kaum muslimin kekal dalam neraka. Demikian sebagian kesesatan dan kekafiran agama Syi’ah. Meski masih banyak hal yang belum bisa disebut pada tulisan ini, semoga tulisan ini bermanfaat bagi sebagian kaum muslimin, yang tertipu oleh kaum Syiah, agar mereka rujuk kepada Islam yang benar, dan semoga menjadi bekal seorang muslim untuk teguh di atas agama. Wallahu A’lam. [1] Nawâshib adalah bentuk jamak dari kata nâshib, yaitu gelar yang mereka gunakan untuk kaum muslimin yang tidak sepaham dengan mereka. (sumber : dzulqarnain.net)

Seperti emisi kuda

Seperti emisi kuda
Alkitab adalah kitab suci tak terbantahkan! Itu benar. Tak terbantahkan dari apa? Tak terbantahkan dari memuat kisah-kisah mesum yang tak pantas dijadikan pelajaran. Salah satunya adalah Dua perempuan bersaudara berlomba dalam prostitusi: Bagi kegemarannya thd kekasih-kekasihnya yg auratnya seperti aurat keledai dan emisinya seperti emisi kuda. (Yehezkiel 23: 1-35) Apa kandungan moral dari kisah tsb? Tidak ada! Karena Alkitab adalah kitab suci tak bermoral. Anda perhatikan sebuah kitab suci telah menulis “seperti aurat keledai” dan “seperti emisi kuda”. Emisi adalah zakar atau alat kemaluan (penis) bagi pejantan. Anda bangga mempunyai kitab suci yg menulis alat kemaluan dengan vulgar? Sepantasnya Anda merasa malu...

Teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti

Teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti
DR. Maurice Bucaille, sarjana dan seorang dokter berkebangsaan Prancis, peneliti 3 kitab suci agama terbesar di dunia (Katholik, Protestan dan Islam) menyatakan kesannya yang mendalam tentang teks Al-Qur’an. Berikut pernyataannya dalam buku yang ia tulis “Sains dalam Al-Qur’an dan Injil” (diterbitkan Balqist Tahun 2011): “Apa yang menampar pembaca ketika pertama kali dihadapkan pada teks ini adalah, berlimpahnya persoalan yang didiskusikan: penciptaan, astronomi, penjelasan materi-materi tertentu yang berkaitan dengan bumi, kerajaan bintang dan tumbuhan, serta reproduksi manusia. Sementara kesalahan-kesalahan besar didapatkan pada Kitab Injil, saya tidak menemukan satu pun kesalahan dalam Al-Qur’an. Saya diam dan bertanya pada diri sendiri: jika Al-Qur’an adalah karya manusia, bagaimana mungkin dia telah bisa menuliskan di fakta-fakta abad 7 M yang saat ini sesuai dengan pengetahuan ilmiah modern? Tidak ada keraguan tentangnya, jika saya boleh mengatakan, teks Al-Qur’an adalah teks paling pasti. Penjelasan apa yang dapat diberikan manusia untuk penelitian ini? Menurut saya tak ada penjelasan; tidak ada alasan khusus mengapa penduduk Semenanjung Arab pada waktu Raja Dagobert berkuasa di Prancis (629-639 M), telah mempunyai pengetahuan ilmiah untuk persoalan-persoalan tertentu pada sepuluh abad yang lalu.” (hlm.160-161) Anda perlu membaca buku dokter Prancis itu, supaya pengetahuan Anda tentang Islam dan khususnya Kitab Suci Al-Qur’an tidak picik dan menganggap remeh.

Fatimah Az-Zahra

Fatimah Az-Zahra
Ketika Rasulullah sudah dekat ajalnya, beliau memanggil Fathimah, putrinya, agar mendekat. Dibisikkan sesuatu di telinga Fathimah, kemudian dia menangis. Setelah itu beliau membisikkan sesuatu kembali hingga kemudian putrinya tersenyum. Ditanyakan kepadanya, “Hai, Fathimah, apa yang membuatmu menangis kemudian tersenyum?” Jawab Fathimah, “Rasulullah membisiki aku bahwa beliau akan meninggal dunia, lalu aku pun menangis. Kemudian beliau membisiki aku lagi, mengatakan bahwa akulah anggota keluarga beliau yang pertama kali akan menyusul beliau. Maka aku pun tersenyum.” Alangkah bahagianya Fathimah sebagai ahlul-bait, orang yang pertama kali dari anggota keluarga Nabi yang menyusul kepergian Rasulullah untuk selama-lamanya. Kisah diriwayatkan sebagai hadits sahih (muttafak-alaih).