Pada
mulanya mereka adalah teman dan merasa bersaudara. Cita-citanya ingin memajukan
Indonesia, negeri yang telah memberinya rasa aman dan tenteram. Dengan gaya
bicara yang berbeda keduanya berusaha meyakinkan pendukungnya bahwa dirinya
adalah pantas menjadi pemimpin Indonesia. Tidak ada niat menyombongkan diri,
karena itu bukan watak pemimpin. Tetapi para pendukung yang berasal dari
kalangan berbeda-beda telah mengambil sikap dan langkah siap memenangkan calon pemimpinnya
dengan segala cara, tanpa disadari yang satu menghalalkan segala cara, dan yang
lain merasa lebih berhati-hati dalam menggunakan cara_wallahu'a'lam. Tiba
saatnya dihitung perolehan suara. Yang mendapat suara terbanyak ditentukan
sebagai pemenang dan yang lebih sedikit dinyatakan bukan sebagai pemenang
(untuk tidak menyinggung perasaan yang mendapat suara lebih sedikit, maka tidak
digunakan kalimat "sebagai pihak yang kalah"). Itu adalah awal dari
perselisihan calon pemimpin dari negeri Indonesia di tahun 2014, negera besar
yang wilayahnya seluas benua Eropa. Tidak ada yang mengetahui bahwa sebenarnyan
telah terjadi peperangan di benak masing-masing calon pemimpin tersebut dirinya
lebih pantas menjadi pemimpin Indonesia untuk masa sekarang. Maka kita akan
melihat perbedaannya dengan pemimpin (khalifah) setelah wafatnya Rasulullah.
Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali adalah pemimpin dunia Islam yang pantas
menjadi teladan bagi siapa pun yang ingin memajukan negerinya dari keterpurukan
dan keterbelakangan. Khulafaur Rasyidin itu bukan pemimpin yang memperkaya diri
dan tidak mengkhianati rakyat. Dan mereka akan menangis ketika melihat
rakyatnya menderita. Tetapi pemimpin
kita akan menangis jika menderita karena kekayaan itu tidak segera diperolehnya
setelah menjadi pemimpin.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar